logo Kompas.id
Politik & HukumPolri Masih Sulit Memidana
Iklan

Polri Masih Sulit Memidana

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Penguatan operasi intelijen dan koordinasi antarlembaga dilakukan Kepolisian Negara RI guna mengantisipasi kepergian dan kepulangan sejumlah warga Indonesia yang menuju Suriah melalui Turki. Polri masih sulit memidana WNI yang bergabung dengan teroris asing.Polri berharap DPR segera mengesahkan revisi Undang-Undang Antiterorisme untuk memberikan aturan hukum yang ketat dalam mencegah warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan kelompok teroris asing.Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, berbagai modus digunakan WNI yang berencana bergabung dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Suriah, seperti ikut wisata umrah yang masuk ke wilayah Turki, kemudian menyeberang ke Suriah secara ilegal. Berbagai langkah pencegahan, terutama koordinasi dengan sejumlah pihak terkait, mulai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Luar Negeri, hingga maskapai penerbangan, telah ditingkatkan Polri untuk mencegah arus WNI ke Suriah.Namun, kata Tito, upaya pencegahan itu belum maksimal meredam keinginan warga Indonesia untuk menuju Suriah. Hal itu disebabkan UU Antiterorisme belum mengatur sanksi pidana terhadap WNI yang bergabung dengan NIIS.Polri mencatat, terdapat sekitar 600 WNI yang telah berangkat ke Suriah. Bahkan, sebagian telah kembali ke Tanah Air, tetapi mereka tidak bisa dijatuhi hukuman pidana."Selama ini belum ada (aturan pidana) sehingga pemeriksaan yang dilakukan Densus (Detasemen Khusus) 88 Antiteror Polri kepada warga Indonesia yang kembali dari Turki hanya untuk memverifikasi apakah terlibat jaringan teroris atau tidak. Kalau ada, baru bisa diproses hukum," ujar Tito, Selasa (18/7), di Markas Besar Polri, Jakarta.Selama ini, Densus 88 hanya bisa menangkap WNI yang telah kembali dari Suriah setelah diduga merencanakan teror di Indonesia. Selain itu, Densus 88 juga melakukan komunikasi dengan otoritas Turki untuk melakukan operasi intelijen. Laporan Pemerintah Turki yang berjudul "Turkey Fight against DAESH" tertanggal 11 Juli 2017 menyebut, Indonesia adalah salah satu dari 99 negara yang menyumbang 4.957 warga asing yang dideportasi karena hendak menyeberang ke Suriah. Menurut data yang dikumpulkan sejak 2011 itu, 435 WNI dideportasi otoritas Turki. Jumlah itu hanya kalah dari Rusia yang mencapai 804 orang.Ancaman WNI yang telah kembali juga perlu diantisipasi Densus 88. Sebab, salah satu pelaku penyerangan Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara, akhir Juni lalu, yakni Syawaluddin Pakpahan, teridentifikasi pernah bergabung dengan NIIS di Suriah selama enam bulan pada 2013.Proses hukumAncaman sanksi pencabutan kewarganegaraan bagi WNI yang bergabung dengan kelompok teroris asing ditentang aktivis hak asasi manusia karena dinilai tak menyelesaikan masalah. Direktur Eksekutif Institute for Defense, Security, and Peace Studies Mufti Makarim mengatakan, usulan sanksi tersebut justru bakal menyulitkan upaya penegakan hukum. "Misalnya ada warga dicabut kewarganegaraannya, lalu bagaimana selanjutnya proses hukumnya, apakah kita masih berhak memproses hukum," kata Mufti.RUU Antiterorisme juga dinilai belum memuat konsep yang jelas soal deradikalisasi. "Tidak ada konsep yang jelas untuk pencegahan dan deradikalisasi, malah banyak pasal pidana yang baru," kata Wahyudi Djafar dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Wahyudi berpendapat, konsep pencegahan dan deradikalisasi seharusnya menjadi penekanan dalam UU Antiterorisme yang baru. (SAN/EDN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000