logo Kompas.id
Politik & HukumMenanti Babak Selanjutnya...
Iklan

Menanti Babak Selanjutnya...

Oleh
· 4 menit baca

Vonis terhadap dua mantan penjabat Kementerian Dalam Negeri, yaitu 7 tahun penjara untuk Irman dan 5 tahun penjara bagi Sugiharto, menjadi satu babak penting dalam pengungkapan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el).Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan, ada pihak lain yang membuat korupsi itu sempurna. Hal ini mengindikasikan, masih ada babak lain dalam pengungkapan kasus korupsi tersebut.Melihat isi dakwaan Irman dan Sugiharto, setidaknya ada 82 nama yang disebut dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun yang berlangsung pada 2011-2012. Jumlah nama yang disebutkan itu sudah termasuk Irman dan Sugiharto. Persidangan Irman dan Sugiharto, sejak dakwaan hingga vonis, butuh waktu lima bulan. Itu baru waktu untuk persidangan dan belum dihitung dengan masa penyidikan. Irman ditetapkan sebagai tersangka pada akhir September 2016, sementara Sugiharto menjadi tersangka sejak April 2014. Sebanyak 80 nama lain yang disebut dalam dakwaan Irman dan Sugiharto berasal dari berbagai latar belakang, seperti anggota DPR, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan pengusaha.Banyak pihak Konstruksi korupsi ini, menurut majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, yang menyidangkan perkara Irman dan Sugiharto, terbangun dari kolusi yang melibatkan Irman, Sugiharto, Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini, pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, dan calon peserta lelang untuk memenangkan salah satu konsorsium, yakni konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI).Keterlibatan mereka dalam praktik kolusi itu berangkat dari beberapa pertemuan Irman dengan sejumlah anggota DPR untuk memuluskan rencana penganggaran pengadaan KTP-el. Pada mulanya, tahun 2010, Irman bertemu Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu membahas penganggaran pengadaan KTP-el. Agar pembahasan anggaran pengadaan KTP-el itu berjalan mulus, Burhanudin meminta uang kepada Irman untuk anggota Komisi II. Namun, saat itu, Irman tak dapat menyanggupinya karena tak tersedia dana. Pada pertemuan sepekan kemudian, Burhanudin memberitahukan Irman bahwa ada pengusaha yang akan membiayai untuk pembayaran tersebut, yakni Andi Narogong. Burhanudin pun meyakinkan Irman bahwa keterlibatan Andi telah direstui Diah. Hari berikutnya, Diah memberitahukan Irman bahwa Andi adalah pengusaha yang siap memenuhi permintaan Burhanudin untuk memberikan sejumlah uang kepada Komisi II DPR. Atas perintah Diah, Irman dan Sugiharto menerima Andi sebagai pengusaha yang mengawal proyek pengadaan KTP-el. Di bawah kendali Andi, Irman dan Sugiharto kemudian mengikuti alur negosiasi pembahasan penganggaran KTP-el di DPR. Dalam perkembangannya kemudian muncul Setya Novanto, kini Ketua Umum Partai Golkar, yang diduga juga berperan penting dalam proyek ini. Dari sejumlah fakta persidangan, majelis hakim pun menilai telah terjadi pemberian uang kepada sejumlah anggota DPR saat pembahasan anggaran hingga lelang pengadaan KTP-el dengan tujuan agar pihak tertentu dapat menjadi pemenang dengan cara tak benar. Dalam vonis hukuman terhadap Irman dan Sugiharto, majelis hakim yang diketuai John Halasan Butarbutar menyebutkan, ada sejumlah uang mengalir kepada anggota DPR, di antaranya Miryam S Haryani (Fraksi Hanura) sebesar 1,2 juta dollar Amerika Serikat (AS), Markus Nari (Fraksi Golkar) sebesar 400.000 dollar AS, dan Ade Komarudin (Fraksi Golkar) 100.000 dollar AS. Selain itu, Irman dan Sugiharto juga menyalurkan sejumlah dana korupsi pengadaan KTP-el itu kepada Diah sebesar 500.000 dollar AS, Husni Fahmi selaku ketua tim teknis pengadaan KTP-el sebesar 20.000 dollar AS dan Rp 30 juta, serta auditor Badan Pemeriksa Keuangan, Ulung, Rp 80 juta.Aliran dana dalam perkara ini juga mengalir deras kepada sejumlah perusahaan yang tergabung dalam konsorsium PNRI.Dengan pertimbangan hukum seperti di atas, majelis hakim kemudian menilai ada pihak selain Irman dan Sugiharto yang terlibat sehingga korupsi KTP-el ini menjadi sempurna. PositifJaksa pada KPK, Irene Puteri, menyatakan, pertimbangan majelis itu merupakan sinyal positif. Menurut dia, majelis telah menangkap ada pihak lain yang membuat korupsi ini terjadi, bukan semata akibat tindakan Irman dan Sugiharto. Pertimbangan itu menjadi pintu bagi KPK untuk melanjutkan penyidikan terhadap pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Hingga saat ini, KPK tengah menyidik Andi Narogong, Markus Nari, dan Setya Novanto. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjanjikan, semua pelaku korupsi KTP-el itu akan diadili. Namun, untuk saat ini, KPK fokus mengungkap aktor-aktor utama korupsi ini terlebih dahulu. Sebab, ada pula sejumlah anggota staf di pemerintahan yang turut kecipratan dana korupsi ini, mulai dari Rp 10 juta hingga Rp 20 juta. Jaksa pada KPK, Ariawan Agustiartono, menyebutkan, anggaran yang dibutuhkan untuk mengungkap perkara ini tidaklah kecil. Anggaran itu, antara lain, untuk membiayai pencetakan berkas perkara, pemanggilan saksi, serta biaya komunikasi dengan saksi yang berada di luar negeri.Berkas perkara Irman dan Sugiharto, sebagai contoh, memiliki tebal lebih dari 24.000 halaman dan tinggi mencapai 2,5 meter. "Hitung saja berapa biaya pencetakan ribuan lembar berkas perkara itu," kata Ariawan. Pengungkapan kasus korupsi seperti KTP-el memang membutuhkan waktu, tenaga, nyali, dan biaya yang tidak sedikit. Namun, demi keadilan dan masa depan yang lebih baik, perang terhadap korupsi tak boleh berhenti dan harus terus diupayakan untuk dimenangi. (MADINA NUSRAT)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000