logo Kompas.id
Politik & HukumHabis Terang, Terbit Gelap
Iklan

Habis Terang, Terbit Gelap

Oleh
m subhan sd
· 3 menit baca

Cuaca ekstrem menerjang KPK dalam satu hari, Selasa (29/8). Cuaca cerah tiba-tiba berubah cepat menjadi mendung penuh gemuruh halilintar. Siang hari langit tampak terang berkilau biru ditingkahi sinar matahari ketika KPK menuntaskan mission sacre-nya dalam pemberantasan korupsi dengan menangkap Bupati Tegal Siti Masitha Soeparno alias Bunda Sitha. KPK melancarkan operasi tangkap tangan serentak di Tegal, Balikpapan, dan Jakarta. Terkait bu wali kota ini, lima orang ditangkap. Malam hari, saat hari merangkak gelap, suara halilintar bergemuruh di KPK. Pada Selasa malam itu, Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman hadir memenuhi undangan rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus Angket KPK di Gedung DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Aris yang berpangkat brigadir jenderal (brigjen) polisi itu hadir sendirian. Ia datang tanpa membawa "pasukannya" di KPK. Sebelumnya, di kursi-kursi itu duduk para terpidana koruptor yang juga diundang Pansus Angket KPK. Kehadiran Aris terbilang aneh. Ternyata, memang ada "sesuatu yang tak beres". Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, meskipun pihaknya menerima surat pemanggilan Aris dari Pansus Angket KPK, kehadiran Aris menjadi tanggung jawab pribadinya. Secara institusional, KPK tetap pada sikap awal bahwa pembentukan Pansus Angket KPK dinilai tak berdasar. "Kalau pertanyaannya apakah ada izin atau tidak, kami tidak bicara soal izin tersebut karena sikap kelembagaan KPK sudah clear dari awal," katanya. Jika demikian, Aris bisa dianggap insubordinasi. Dengan latar belakang sebagai anggota kepolisian, semestinya ia amat paham dengan insubordinasi. Atau jangan-jangan punya masalah juga di KPK? Tentu saja ia punya dasar untuk hadir di depan Pansus Angket KPK. Apalagi sampai membuka sejumlah persoalan internal KPK. Sampai-sampai Pansus Angket KPK makin yakin bahwa penyidik senior, dalam hal Novel Baswedan, dianggap powerful. Katakanlah ia juga punya niat memperbaiki KPK. Namun, tentu bukan begitu caranya. Niat mulia juga harus dilalui dengan cara-cara yang pantas dan etis. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara yang juga Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia berkomentar begini, "Tidak bisa nyelonong sendiri begitu, itu tidak bisa dibenarkan." KPK memang bukan malaikat. Namun, memperlakukan KPK sebagai "pendosa" adalah jalan sesat. Kekurangan yang dimiliki KPK tidak lantas dibalas dengan genderang perang terhadap lembaga antirasuah tersebut, apalagi secara sistematis mengarah tanda-tanda pelemahan (juga pembubaran) KPK. Seperti halnya semua institusi di republik ini, jika ada kebobrokan di dalamnya, tak ada yang hendak membubarkannya. Contoh sederhana, ketika banyak anggota DPR korupsi mencuri uang rakyat, toh tidak ada pihak yang benar-benar ingin membubarkan DPR. Suara keras publik hanyalah menuntut agar dilakukan bersih-bersih di rumah rakyat itu. Hasil kerja KPK tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan kekurangannya. KPK bekerja tanpa henti, menangkapi pejabat serta politikus korup dan busuk, yang selalu tersenyum di televisi tetapi menikam rakyat dari belakang. Dalam satu hari, Selasa, jika RA Kartini optimistis "Habis Gelap Terbitlah Terang", hal sebaliknya dialami KPK, yakni "habis terang terbitlah gelap". Akankah republik ini tanpa KPK?

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000