logo Kompas.id
Politik & HukumBerselancar di Antara Dua Sisi...
Iklan

Berselancar di Antara Dua Sisi Medsos

Oleh
· 4 menit baca

Tragedi kemanusiaan warga Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, menyedot simpati publik Indonesia. Di ruang maya, berbagai informasi dan foto terkait kondisi warga Rohingya yang menjadi korban persekusi tersebar luas. Namun, pengguna internet diingatkan untuk tetap jeli memilah informasi agar tak disesatkan informasi palsu atau hoaks yang hanya akan memperburuk persoalan. Konflik di Rakhine yang memburuk sepekan terakhir ini menyebabkan puluhan ribu warga Rohingya meninggalkan tempat tinggalnya. Korban tewas terus bertambah kendati jumlahnya masih belum bisa dipastikan. Di situs jejaring pertemanan Facebook, seorang teman membagikan informasi berisi satu rekaman pendek video beresolusi rendah serta tiga foto. Pada status tertulis bahwa rekaman dan foto itu merupakan warga sipil Rohingya yang dibunuh. Namun, beberapa pemilik akun lain segera menimpali, foto-foto dan video itu berasal dari daerah lain, bukan di Myanmar. Di grup Whatsapp salah satu kementerian yang mayoritas anggotanya wartawan, seorang anggota grup mengirim teks hoaks soal ancaman Menteri Pertahanan China Chang Wanquan jika elite agama penyebar kebencian terhadap Rohingya di Myanmar diganggu. Anggota lain di grup itu lantas beramai-ramai menyebut informasi itu hoaks. Dua contoh itu juga bisa ditemukan di sejumlah akun lain karena solidaritas untuk membantu warga Rohingya menguat di media sosial (medsos). Di Twitter, kata kunci terkait tragedi kemanusiaan Rohingya masuk dalam topik terpopuler Twitter di Indonesia, Senin (4/9), seperti "Borobudur", "Candi Borobudur", "Myanmar", "Rohingya", dan "Kedubes Myanmar". Kendati sama-sama punya solidaritas terhadap warga Rohingya, ada pula pro dan kontra di Twitter karena muncul cuitan yang mengaitkan konflik itu dengan isu agama. Pemilik akun @Syarman59 mencuit "Gorengan hoax & hate speech Rasa Rohingya. Menyebar foto palsu sampai demo Borobudur menyalahkan pemerintahan Jokowi lamban". Pemilik akun @AlissaWahid mengajak pengguna internet untuk tak melihat persekusi terhadap Rohingya dari sudut pandang hitam dan putih saja. Ia mencuit "Di Myanmar masih banyak orang Muslim yang tidak menjadi korban genosida. Jadi tuduhan isu Rohingya ini murni soal agama Islam kurang tepat".Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo menuturkan, dalam kasus Rohingya, medsos kembali menunjukkan dua sisinya. Di satu sisi, dunia mengetahui kondisi warga Rohingya secara cepat melalui medsos pada saat media konvensional sulit menjangkau Rakhine. Solidaritas dan empati terbangun dari penyebaran informasi di medsos soal kondisi warga Rohingya yang tertindas. "Di saat yang sama, media sosial juga mengabarkan Rohingya dengan hoaks, kabar bohong. Gambar-gambar sadis dan dramatis hasil rekayasa berseliweran di media sosial. Ini berpotensi menyesatkan masyarakat. Saya berharap semua pengguna internet bisa bijak dan tidak mudah terkecoh kepalsuan," tutur Agus. Peneliti politik kelas menengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wasisto Raharjo Jati, mengatakan, kesadaran berpikir verifikatif harus ditumbuhkan oleh pengguna internet. Apalagi, informasi digital menuntut pengguna internet untuk selektif. Kepentingan ekonomiDi medsos mulai pula muncul perspektif berbeda untuk memandang tragedi kemanusiaan Rohingya dari banyak aspek sehingga tidak dikaitkan dengan persoalan agama. Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas mencuit secara berseri perspektif konflik sumber daya alam yang membuat warga Rohingya dipersekusi. Dalam 40 cuitannya, pemilik akun Twitter @GusYaqut itu menuturkan, ada perebutan sumber daya di Rakhine yang dihuni etnis Rohingya. ""Persekusi, pembantaian, pengusiran, dan kekejaman atas manusia lain digunakan untuk memperluas lahan. Agama dijadikan cover", cuit Gus Yaqut. Guru Besar Sosiologi Universitas Colombia Saskia Sassen dalam tulisannya di The Guardian (4/1/2017) yang bertajuk "Is Rohingya Persecution Caused by Business Interests Rather Than Religion?" juga mengutarakan kekhawatiran yang serupa. Sassen mempertanyakan, apakah semakin meningkatnya persekusi terhadap Rohingya dan juga kelompok minoritas lain sebagian di antaranya muncul akibat adanya kepentingan ekonomi militer ketimbang isu agama dan etnis. Peneliti senior Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia, Ahmad Suaedy, mengungkapkan, konflik di Rakhine juga terkait dengan struktur politik dan kemiskinan masyarakat serta penggunaan simbol agama untuk memprovokasi. Pada saat yang sama, mayoritas penduduk yang punya pandangan moderat hanya diam tidak mencegah kekerasan, termasuk tokoh politik yang dikenal sebagai pejuang demokrasi dan peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi. (ANTONY LEE)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000