JAKARTA, KOMPAS — Sistem demokrasi di Indonesia, yang menghendaki penyebaran kekuasaan negara dalam masyarakat luas, nyatanya dapat hidup dalam sistem politik yang bersifat oligarki atau kondisi di mana jabatan publik dan kekayaan negara hanya dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat. Pada akhirnya, kondisi ketimpangan ekonomi yang terjadi di masyarakat tak jarang dijadikan instrumen politik yang mengarah pada radikalisme atau ekstremisme.
Pesan itu disampaikan dalam diskusi publik bertajuk ”Oligarki dalam Transformasi Ekonomi dan Politik di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Megawati Institute di Jakarta. Selasa (5/9). Hadir dalam diskusi tersebut sebagai pembicara, yaitu Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskrido Ambardi, Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Sugeng Bahagijo, dosen Universitas Airlangga Airlangga Pribadi, dan Reno Koconegoro dari Megawati Institute. Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta juga terlihat hadir.
Reno mengakui, praktik oligarki saat ini masih terjadi di Indonesia. Ia menyampaikan, data dari Credit Suisse tahun 2016, sebanyak 10 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia belum menikmati kekayaan Indonesia.
Reno menilai pemerintahan saat ini telah berusaha memutus rantai oligarki. ”Presiden Joko Widodo telah mencoba memutus praktik-praktik oligarki melalui berbagai kebijakan redistribusi aset produktif, misalnya kebijakan reformasi agraria melalui pemberian sertifikat tanah langsung kepada masyarakat. Hal itu dilakukan agar masyarakat secara langsung dapat berdaya dan memiliki posisi tawar ekonomi,” kata Reno.
Meski demikian, Sugeng menilai langkah pemerintah dalam membongkar sistem oligarki perlu ditingkatkan. ”Langkah yang diambil Presiden Joko Widodo dalam hal mengatasi oligarki sudah benar, tetapi belum cukup untuk mengubah sistem. Dibutuhkan berbagai kebijakan lain agar redistribusi aset atau modal yang sudah dilakukan dapat berjalan efektif di masyarakat secara berkelanjutan,” ujar Sugeng.
Airlangga mengingatkan, jika persoalan ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia tidak segera diatasi, kondisi frustrasi yang dialami oleh masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah akan dimanfaatkan menjadi instrumen politik oleh kelompok-kelompok oligarki lainnya, yang saat ini mungkin berada dalam pihak oposisi pemerintah. Pemanfaatan itu tidak sedikit dibawa ke arah radikalisme dan ekstremisme.
Pemilu dan oligarki
Ambardi mengatakan, masih terdapatnya praktik oligarki di masyarakat salah satunya disebabkan adanya perbedaan dalam proses politik antara pemilu dan perumusan kebijakan. Pada saat pemilu, semua masyarakat bebas memilih calon yang akan duduk di kursi eksekutif ataupun legislatif, tetapi hanya sedikit masyarakat yang memilih berdasarkan gagasan atau kebijakan politik yang dibawa oleh seorang calon.
”Dari sejumlah hasil survei yang sudah dilakukan, saya mengamati hanya sekitar 10 persen pemilih yang memilih berdasarkan visi dan misi kebijakan suatu calon, 90 persen lainnya hanya memilih berdasarkan ketertarikan lambang partai, peci, atau dasi calon. Akibatnya, setelah pemilu berakhir, sistem politik berubah menjadi elitis. Hal itu dapat dilihat dari sistem penganggaran di DPR,” kata Ambardi. (DD14)