AJI Yakin Menang jika Kasus Dhandy Diteruskan ke Pengadilan
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aliansi Jurnalis Independen Indonesia yakin pihaknya akan menang apabila laporan Dewan Pimpinan Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi kepada pihak kepolisian terhadap tulisan anggota AJI, Dhandy Dwi Laksono, yang dianggap menebarkan kebencian, diteruskan hingga meja pengadilan. AJI mengatakan memiliki data lengkap yang dapat membuktikan kebenaran dari tulisan.
Sebelumnya, pada Rabu (6/9), Dandhy dilaporkan oleh DPD Repdem Jawa Timur ke Kepolisian Daerah Jawa Timur karena mengunggah tulisannya ke akun media sosial (Facebook) yang berjudul ”San Suu Kyi dan Megawati”. Tulisan itu dianggap pihak Repdem sebagai tuduhan yang menghina dan menebarkan kebencian terhadap presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri.
”Karya dari Saudara Dandhy merupakan karya jurnalistik yang bisa dipertanggungjawabkan. Kami AJI melakukan advokasi dalam kasus ini bukan karena Dandhy anggota AJI. Lebih jauh, karena saat ini kebebasan berekspresi dan berpendapat sering dibungkam oleh orang-orang melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” ujar Ketua AJI Indonesia Suwarjono dalam konferensi pers di kantornya di Jakarta, Minggu (17/9).
Suwarjono menilai, tulisan Dandhy lebih layak diuji secara kode etik di Dewan Pers ketimbang dilaporkan secara pidana. Tulisan itu dianggap Suwarjono dapat diadili di Dewan Pers karena tidak hanya diunggah di akun media sosial, tetapi telah dipublikasikan di portal akun berita, salah satunya acehkita.com.
Sementara itu, pengurus Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho, menilai, pihaknya akan menang secara mutlak apabila kasus ini diteruskan hingga pengadilan. Ia mengatakan, pihaknya memiliki banyak bukti yang membenarkan tulisan Dandhy bukan merupakan sebuah ujaran kebencian, melainkan sebuah kritik yang sesuai dengan fakta.
Adapun Dandhy mengatakan, kasus ini dapat menjadi contoh ancaman bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. ”Yang dibela AJI bukan hanya soal akurasi, karena yang dibela ialah kebebasan berpendapat sepanjang itu bukan merupakan fitnah atau hate speech (ujaran kebencian). Idealnya yang dibela itu kebebasan bicaranya, bukan mengadu footnote (catatan kaki), referensi ilmiah, disiplin metodologi, atau disiplin verifikasi. Akurat atau tidak itu soal nomor dua, yang nomor satu adalah kawan AJI sedang memperjuangkan hak kita semua. Kalau ke depan tukang becak, nelayan, petani berpendapat, terus diminta untuk memberikan footnote atau referensi ilmiah, kan kasihan mereka,” ujar Dandhy.
Dandhy menjelaskan, apa yang ia tulis berawal dari keprihatinannya terhadap persoalan hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar. Ia mencoba membandingkannya dengan konteks Indonesia, yaitu di Aceh dan Papua. Ia mengatakan, perbandingan tersebut tidak dapat melepaskan kedua aktor, yaitu Suu Kyi dan Megawati yang sama-sama pernah berkuasa di negaranya.
Pengajar Komunikasi Politik di Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menilai, apa yang dilakukan Dhandy merupakan persoalan komunikasi politik yang dapat memberikan dampak ke publik. ”Apa yang sudah diunggah tidak bisa ditarik kembali karena sudah membekas di publik. Persoalan hal itu dilaporkan Repdem, itu hak hukum semua warga negara. Akan tetapi, diperlukan juga dialog di antara kedua belah pihak, antara Repdem dan Dandhy,” kata Emrus.
Dandhy mengatakan, pelaporan dirinya ke pihak kepolisian merupakan hal yang pertama baginya. Sebelumnya, kritik kepada karyanya dilakukan dengan cara yang dinilainya demokratis, seperti membuat karya tandingan. Saat ini, pihaknya dalam posisi menunggu karena belum ada panggilan dari kepolisian. (DD14)