Di tengah berbagai upaya mencegah korupsi birokrasi, sejumlah kepala daerah justru beruntun tertangkap aparat KPK karena diduga korupsi. Semangat membersihkan korupsi dari dalam birokrasi bertarung ketat dengan perilaku korup dari sejumlah pemimpin daerah.
Korupsi di level elite birokrasi daerah masih terjadi di sejumlah tempat. Kekuasaan dalam pengelolaan anggaran, perekrutan pejabat, pemberian izin, pengadaan barang jasa, dan berbagai kewenangan lain membuat posisi kepala daerah sangat rawan. Sejumlah kepala daerah terbukti menyalahgunakan kewenangannya, antara lain, dengan menerima suap, memeras pengusaha, menggelembungkan harga, menyelewengkan anggaran, dan melakukan pembangunan fiktif.
Semakin tinggi rata-rata tingkat pendidikan kepala daerah dan semakin maju sistem pemilihan ternyata belum mampu meminimalkan jumlah kepala daerah yang bebas dari korupsi. Bahkan, ada indikasi, kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK justru semakin banyak.
Terakhir, kepala daerah yang berurusan dengan KPK adalah Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi. Ia ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK pada Sabtu (23/9). Satu minggu sebelumnya, pada 16 September, KPK juga menangkap Wali Kota Batu Eddy Rumpoko.
Berbagai penangkapan ini terasa ironis. Pasalnya, berbagai upaya pencegahan korupsi dilakukan di sejumlah daerah, termasuk oleh sejumlah partai politik dengan langsung memecat kader yang kena OTT KPK.
Kecurigaan publik terhadap integritas kepala daerah di sejumlah wilayah di Indonesia masih cukup tinggi. Terbukti, sekitar 37,9 persen responden jajak pendapat ini menilai kepala daerahnya sendiri tidak bebas korupsi. Relatif mudah bagi publik mengenali perilaku kepala daerahnya yang punya gaya hidup dan kekayaan melebihi penghasilannya sebagai kepala daerah. Namun, lebih besar publik yang menaruh harapan positif karena sekitar 51,6 persen meyakini kepala daerahnya bersih dari perilaku korupsi.
Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dari Oktober 2014 hingga 23 September 2017 total sudah ada 37 kepala/wakil kepala daerah yang bermasalah dengan hukum. Sebanyak 29 kepala/wakil kepala daerah ditangani KPK. Sebagian besar kepala daerah yang ditangkap merupakan kader di partai politik.
Peluang terjadinya korupsi di level elite daerah seakan tak dapat dihindari. Publik sepakat OTT oleh KPK perlu terus dilakukan untuk memberi efek jera kepada para pelaku korupsi. Namun, kemampuan KPK tentu ada batasnya.
Sistem
Sebagian besar publik sepakat ketiadaan prosedur akuntabel dalam keuangan daerah, struktur pemerintahan yang masih berhubungan kerabat/saudara, kesamaan partai politik, dan ketiadaan pengawasan anggaran melancarkan jalan bagi aparat di daerah melakukan korupsi.
Jajak pendapat Kompas menunjukkan, separuh bagian publik belum puas dengan upaya yang dilakukan kepala daerahnya untuk mencegah korupsi.
Namun, beberapa daerah telah menunjukkan komitmen yang patut diapresiasi dalam memberantas korupsi. Adanya kepala daerah yang mampu membangun iklim dan sistem antikorupsi mestinya dapat ditiru kepala daerah lain. Sistem yang transparan akan mengurangi celah korupsi. Dalam jangka panjang, pencegahan korupsi berbasis sistem akan memperkuat budaya antikorupsi di elite birokrasi daerah.
Upaya menerapkan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) menjadi salah satu upaya menciptakan sistem yang transparan untuk mencegah korupsi. Dari jajak ini, baru sekitar 49 persen publik menyatakan upaya PTSP dilakukan kepala daerah di wilayah tempat tinggalnya.
Salah satu daerah yang telah merintis PTSP adalah Kabupaten Solok, yaitu sejak tahun 1996. Pelayanan yang dinamai Yantupin itu berhasil mengelola 25 urusan perizinan dengan efektif dan efisien. Tahun 2000, Pemkot Yogyakarta juga membentuk unit pelayanan terpadu satu atap (UPTSA) yang ditunjang unit pelayanan informasi dan keluhan (UPIK). Hal ini memungkinkan warga menyampaikan pengaduan melalui layanan pesan singkat (SMS).
PTSP juga dilaksanakan di DKI Jakarta. Pengurusan izin di Jakarta saat ini sudah sangat mudah dan transparan karena mengintegrasikan titik penerimaan permohonan perizinan dan non-perizinan investasi pada satu tempat. Tahun 2016, PTSP DKI berhasil menjalankan 4,6 juta pelayanan perizinan dan non-perizinan bagi warga Jakarta.
Penerapan e-budgeting juga menjadi tonggak bagi daerah menghindarkan diri dari korupsi. E-budgeting merupakan sistem untuk mengetahui program dan anggaran yang digunakan untuk pembangunan sehingga gubernur dan pimpinan DPRD bisa saling kontrol.
Penerapan e-budgeting dan e-planning oleh pemerintah daerah di Indonesia menurut KPK sudah 42 persen. Namun, efektivitasnya baru sedikit bergema. Hanya 10,9 persen publik yang menyatakan e-budgeting sudah diterapkan kepala daerah di wilayahnya.
Dalam jajak pendapat ini juga diketahui bahwa publik masih terbelah dalam menilai antara perilaku korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Ada kebimbangan publik yang lebih suka menatap pertumbuhan ekonomi di daerah daripada sungguh taat terhadap hukum.
Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat ini, di mana 50,3 persen menyetujui semua upaya demi pertumbuhan ekonomi. Sementara 47,5 persen sepakat lebih taat pada aturan hukum meski ekonomi berisiko tumbuh lebih lambat.
Korupsi dalam berbagai bentuknya merupakan penghambat utama pembangunan dan kesejahteraan sosial. Tanpa pemberantasan korupsi, mustahil kemiskinan dan kesenjangan bisa diatasi. Oleh karena itu, sungguh memprihatinkan jika kepala daerah yang bermaksud menyejahterakan daerah dengan maraknya investasi justru tersandung kasus korupsi.
Kini saatnya menerapkan berbagai sistem informasi dan teknologi untuk membantu mencegah perilaku korup kepala daerah dengan diiringi sanksi tegas dari partai politik pendukung. Hanya dengan demikian perilaku korup kepala daerah bisa teredam, kemajuan ekonomi daerah bisa tercapai, dan demokrasi terus terlindungi.
(Litbang Kompas/Susanti Agustina S/Toto Suryaningtyas)