logo Kompas.id
Politik & HukumEkses Buruk Otonomi
Iklan

Ekses Buruk Otonomi

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Penerapan otonomi daerah awalnya untuk mengubah tata kelola pemerintahan sentralistik yang cenderung korup. Namun, praktiknya otonomi tak menghapus potensi korupsi penguasa. Meningkatnya jumlah kepala daerah yang korupsi dinilai sebagai bentuk ekses buruk otonomi.Rezim Orde Baru yang sentralistik tumbang salah satunya karena dinilai korup. Reformasi kemudian mengubah tata kelola pemerintahan sentralistik pada masa Orde Baru dengan desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah. Namun, ternyata bentuk pemerintahan saja yang berubah. Perilaku koruptif penguasa tetap ada dan malah menyebar ke daerah setelah terjadi desentralisasi kekuasaan. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui, perilaku koruptif kepala daerah yang semakin meningkat itu sebagai ekses pemberlakuan desentralisasi atau otonomi daerah selama 17 tahun terakhir. Hal tersebut diperparah dengan pengawasan dan pencegahan yang belum maksimal, baik dari internal maupun eksternal pemerintah daerah.Dalam Simposium Nasional Lembaga Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat bertajuk "Pemantapan Pelaksanaan Otonomi Daerah" di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/10), Tjahjo mengatakan, praktik otonomi daerah yang rawan korupsi menurunkan persepsi masyarakat terkait tata kelola pemerintahan yang bersih. Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi berdiri pada 2002, ada 77 kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan dan 353 kepala daerah tersangkut masalah korupsi. KPK pun tidak akan berhenti menangani kepala daerah korup. Program pencegahan dan penguatan pengawasan di daerah terus berjalan untuk menutup celah penyalahgunaan wewenang.Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengakui, pencegahan korupsi di daerah selama ini sudah rutin dilakukan. KPK pun mendampingi kepala daerah dalam tata kelola keuangan. "Namun, bagi kepala daerah yang tidak mau berubah, kami akan tetap proses," ujar Febri.Tjahjo mengatakan, korupsi di daerah meningkat karena lemahnya pengawasan internal pemerintah. "Pemerintah daerah punya inspektorat di setiap wilayah, tetapi inspektorat ini lemah karena belum pernah melakukan penindakan. Ada sistem yang salah sehingga ini dulu yang perlu diperbaiki," katanya. Memperkuat inspektoratSalah satu caranya dengan merestrukturisasi kedudukan inspektorat wilayah. Selama ini, inspektorat daerah diangkat oleh kepala daerah dan tunduk kepada kepala daerah. Kedudukan seperti itu membuat inspektorat wilayah tidak bisa tegas menindak kepala daerah yang berpotensi melakukan korupsi. Ke depan inspektorat wilayah di tingkat kabupaten akan bertanggung jawab kepada gubernur. Sementara inspektorat di tingkat provinsi bertanggung jawab langsung kepada direktorat jenderal di Kementerian Dalam Negeri. Tjahjo mengatakan, ada konsep baru dari Badan Pemeriksa Keuangan agar semua inspektorat wilayah bertanggung jawab langsung kepada Presiden. "Karena memang selama ini masalahnya di situ. Inspektorat daerah pangkatnya di bawah sekretaris daerah (sekda). Sulit ditindak karena masih teman sendiri yang ditangkap," ujar Tjahjo.Salah satu penggagas otonomi daerah, Ryaas Rasyid, mengatakan, akar permasalahan korupsi kepala daerah bukan hanya pada perilaku orang per orang, melainkan juga sistem yang terkesan memanjakan koruptor. Ia sepakat dengan rencana pemerintah mengkaji dan memperbaiki sistem pengawasan internal. "Jika terus dibiarkan, legitimasi pemerintahan akan terus jatuh di mata rakyat, baik di tingkat pusat maupun daerah," kata Ryaas. (AGE/IAN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000