logo Kompas.id
Politik & HukumOTT Hakim Patahkan Niat DPR...
Iklan

OTT Hakim Patahkan Niat DPR Mengatur Penyadapan

Oleh
· 2 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Kembali tertangkapnya hakim dalam kasus suap sepatutnya mematahkan niat sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengatur agar penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi didahului izin pengadilan. Jika dipaksakan, pemberantasan korupsi, khususnya yang melibatkan lembaga peradilan, kian sulit dilakukan."Kembali tertangkapnya hakim, apalagi yang terbaru ketua pengadilan tinggi, pembuktian kepada DPR bahwa lembaga peradilan belum bersih dari korupsi. Keharusan izin (pengadilan) akan membuat pemberantasan korupsi semakin sulit," ujar peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Khairul Fahmi, Senin (9/10).Ini terutama jika korupsi melibatkan orang-orang di lembaga peradilan atau orang-orang yang memiliki kedekatan dengan lembaga peradilan. Pengadilan rawan menyalahgunakan kewenangannya supaya mereka lepas dari jerat hukum."Coba bayangkan kalau korupsi melibatkan hakim di Mahkamah Agung, apa berani ketua pengadilan tinggi memberikan izin?" katanya.Penyusun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yaitu pemerintah dan DPR, sebenarnya memahami potensi penyalahgunaan tersebut. Makanya, undang-undang memberikan kewenangan kuat kepada KPK, yaitu penyadapan tak perlu didahului izin pengadilan.Keinginan sejumlah anggota DPR agar penyadapan oleh KPK dilakukan atas izin dari pengadilan sudah sering diungkapkan, selain oleh anggota Komisi III DPR, juga oleh anggota Panitia Angket DPR terhadap KPK. Keinginan ini menurut rencana dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Penyadapan.Tengah dirumuskanAnggota Komisi III DPR, yang juga anggota panitia angket dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, dalam konsep RUU Penyadapan yang tengah dirumuskan, semua penyadapan untuk tujuan penegakan hukum wajib melalui perizinan terlebih dahulu. Baik penyadapan KPK untuk keperluan pemberantasan korupsi, Badan Narkotika Nasional untuk kasus penyalahgunaan obat terlarang, maupun kepolisian untuk urusan aksi terorisme. "Ditakutkan, kalau ketua pengadilan saja korupsi, kenapa diberi kewenangan mengizinkan? Bagaimana bisa menyadap orang pengadilan yang diduga korupsi?" katanya.Arsul mengatakan, saat ini DPR tengah merumuskan konsep perizinan lain untuk menghindari konflik kepentingan oknum peradilan. Salah satunya, menunjuk institusi lain sebagai pemberi izin jika penyadapan akan dilakukan di lingkungan peradilan. "Intinya, jangan disederhanakan bahwa karena keadaannya begini, ketua pengadilan korupsi, maka izin penyadapan dari pengadilan tidak diperlukan sama sekali. Tidak bisa begitu," kata Arsul. (APA/AGE)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000