Sikap Pimpinan KPK Terbelah soal Pembentukan TGPF Kasus Novel
JAKARTA, KOMPAS — Sikap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi masih terbelah dalam merespons usulan pembentukan tim gabungan pencari fakta serangan terhadap Novel Baswedan, penyidik senior KPK. Hingga lebih dari 200 hari sejak penyerangan, pelaku teror belum tertangkap.
Ketua KPK Agus Rahardjo tidak menampik adanya perbedaan pendapat di antara pimpinan komisi antikorupsi dalam upaya penuntasan kasus Novel, terlebih lagi terkait pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF).
"Dalam pengambilan keputusan, kami collective collegial. Kami akan diskusikan lagi, tetapi kami optimistis melihat perkembangan. Mungkin saja akan ada pimpinan yang berubah sikap (setuju dengan pembentukan TGPF). Ditunggu saja," ujar Agus, Selasa (31/10).
Agus menyadari, opsi pembentukan TGPF juga tidak sepenuhnya dapat membuat para pelaku penyerangan diminta pertanggungjawabannya. Ia mencontohkan TGPF dalam kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir. Sejumlah nama yang disebut dalam dokumen tim pencari fakta tak dapat dibawa ke proses hukum. Menurut dia, hal itu sempat menjadi pembahasan dalam pertemuan tersebut.
Kemarin, empat mantan unsur pimpinan KPK, yaitu Busyro Muqoddas, M Yasin, Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto, mendatangi Gedung KPK, Jakarta. Hadir juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi serta sejumlah aktivis seperti Haris Azhar, Dahnil Simanjuntak, Muhammad Isnur, dan presenter Najwa Shihab.
Kehadiran mereka untuk mendorong agar pimpinan KPK bersedia mengusulkan pembentukan TGPF dalam kasus penyerangan Novel Baswedan kepada pemerintah. Mereka ditemui tiga unsur pimpinan KPK, yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Basaria Pandjaitan. Dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga jam di lantai 15 Gedung Merah Putih KPK, Laode hanya hadir sebentar.
"Ini bukan hanya sekadar menuntaskan kasus Novel. Itu terlalu sederhana. Kami bicara bahwa upaya pemberantasan korupsi harus menjadi pilar untuk menuntaskan janji Pembukaan UUD 1945 untuk menyejahterakan masyarakat. Apalagi, tahun depan sudah masuk tahun politik. Kalau sampai tahun ini upaya pemberantasan korupsi tidak menunjukkan titik terang, seluruh upaya politik di 2019 bisa jadi melegitimasi upaya pelemahan pemberantasan korupsi," kata Bambang.
Hal serupa diungkapkan oleh Busyro, Najwa, dan Mochtar. Keseriusan dalam penanganan kasus Novel menggambarkan komitmen pemberantasan korupsi pimpinan KPK saat ini. Sebab, serangan terhadap Novel, menurut mereka, merupakan bentuk serangan terhadap lembaga. Untuk itu, pimpinan KPK semestinya tidak ragu untuk mengusulkan pembentukan TGPF mengingat lambatnya kerja kepolisian.
Konflik internal
Selain berbeda pendapat mengenai pembentukan TGPF kasus Novel, pimpinan KPK juga belum satu suara dalam merampungkan sejumlah konflik internal. Salah satunya penjatuhan sanksi terhadap Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal (Pol) Aris Budiman. Menurut Agus, satu unsur pimpinan belum memberikan pendapat karena sedang berada di luar negeri. Sementara itu, dua unsur pimpinan sepakat memberi sanksi berat dan dua lainnya mempertimbangkan pemberian sanksi sedang.
Sebelumnya, Pengawas Internal KPK mensinyalir adanya pelanggaran berat. Aris memenuhi panggilan Panitia Angket DPR tanpa seizin pimpinan KPK.
Terkait hal ini, Samad sebagai mantan unsur pimpinan mendorong agar pimpinan tidak takut mengambil sikap. KPK kini tengah menghadapi berbagai serangan dari luar. Namun, ia mengingatkan, perlawanan dari dalam lebih berbahaya sehingga harus segera diatasi.
(IAN)