Jalan Terjal Mewujudkan Ekonomi Bebas Korupsi
Laporan Bank Dunia terbaru yang berjudul Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs membawa secercah harapan dalam pembangunan ekonomi di Tanah Air. Dari 190 negara yang diukur indeksnya dalam kemudahan berusaha atau ease of doing business, Indonesia menempati posisi ke-72, atau naik dari peringkat tahun sebelumnya yang berada di ranking ke-91.
Kenaikan peringkat dalam indeks kemudahan berusaha yang disusun oleh Bank Dunia (World Bank) ini menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam memperbaiki faktor-faktor yang menjadi pemicu mudahnya suatu usaha baru dirintis di Tanah Air. Berkaca dari laporan lain yang juga dirilis oleh Bank Dunia, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) triwulanan Indonesia meningkat dari 4,9 persen pada triwulan terakhir tahun 2016 menjadi 5,0 persen pada triwulan pertama tahun 2017. PDB Indonesia terangkat oleh mulai membaiknya tingkat konsumsi pemerintah dan melonjaknya nilai ekspor.
Untuk menopang tren positif itu masih diperlukan kerja keras dari pembuat kebijakan, birokrasi, masyarakat, dan kalangan pengusaha untuk meminimalisasi setiap potensi yang bisa meruntuhkan momen perbaikan ekonomi di tengah arus membaiknya ekonomi di kawasan Asia Pasifik pasca-krisis akibat penurunan ekonomi China.
Di sisi lain, kebijakan politik yang tidak menentu, termasuk di dalamnya regulasi yang memberatkan pengusaha dalam perizinan, kemudahan berusaha, dan praktik pungutan liar yang memicu ekonomi biaya tinggi berpotensi untuk mengganggu ritme positif yang kini berupaya dijaga. Bank Dunia menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang mendukung keterbukaan dan ramah investasi sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi regional.
Dalam laporan Bank Dunia soal EODB 2018 itu, Indonesia mengalami perbaikan signifikan pada tiga indikator, yakni penyelesaian kepailitan (resolving insolvency) dari posisi ke-74 menjadi posisi ke-38 (naik 36 peringkat); penegakan kontrak (enforcing contracts) dari posisi ke-171 menjadi posisi ke-145 (naik 26 peringkat); dan penyambungan listrik (getting electricity) dari posisi ke-61 menjadi posisi ke-38 (naik 23 peringkat).
Khusus untuk indeks memulai usaha (starting a business), Indonesia menempati peringkat ke-144. Prosedur perizinan yang masih rumit menjadi salah satu catatan yang mesti diatasi Indonesia untuk memperbaiki kondisi ini.
Berkaca pada rerata capaian Indonesia dalam EODB 2018 yang berada pada posisi ke-72, target Presiden Joko Widodo yang mencanangkan Indonesia meraih ranking ke-40 pada EODB tahun 2019 bukan hal mustahil meski tidak mudah untuk direalisasikan.
Jalan terjal sudah pasti harus dihadapi oleh pemerintah, masyarakat, dan usahawan apabila ingin memperbaiki kemudahan berusaha di dalam negeri. Beberapa survei yang dilakukan kalangan profesional menunjukkan masih tingginya praktik suap dan korupsi yang dilakukan oleh kalangan pengusaha. Bukan hanya itu, regulasi yang dibuat pemerintah untuk mendorong kemudahan berusaha masih dirasakan setengah hati oleh pengusaha.
Suap membayangi
Hasil survei yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2017 menggambarkan fenomena suap dan korupsi yang membayangi pengusaha. Survei terhadap 1.200 responden yang semuanya adalah pelaku usaha itu dilakukan di 12 kota besar, yakni Jakarta Utara, Pontianak, Pekanbaru, Balikpapan, Banjarmasin, Padang, Manado, Surabaya, Semarang, Bandung, Makassar, dan Medan. Kota-kota itu dipilih karena merupakan daerah dengan penyumbang PDB terbesar.
Hasil survei menemukan, rerata IPK 12 kota besar tersebut 60,8 poin, yakni diukur dari angka indeks 0 poin sebagai yang paling korup hingga 100 poin sebagai paling bersih. Kota Jakarta Utara menempati ranking tertinggi dengan 73,9 poin, diikuti Pontianak (66,5 poin), Pekanbaru (65,5 poin), Balikpapan (64,3 poin), Banjarmasin (63,7 poin), Padang (63,1 poin), Manado (62,8 poin), Surabaya (61,4 poin), Semarang (58,9 poin), Bandung (57,9 poin), Makassar (53,4 poin), dan Medan (37,4 poin).
Menariknya, ada temuan yang menyebutkan 17 persen pelaku usaha yang disurvei mengaku pernah gagal dalam mendapatkan keuntungan karena pesaing memberikan suap. Kota Bandung merupakan kota dengan persentase suap tertinggi karena pengusaha menghabiskan 10,8 persen dari total biaya produksi untuk menyuap. Sebaliknya, praktik suap oleh pengusaha paling rendah ditemui di Kota Makassar karena pengusaha hanya menghabiskan 1,8 persen dari total biaya produksi mereka untuk memberi suap.
Kota Bandung merupakan kota dengan persentase suap tertinggi karena pengusaha menghabiskan 10,8 persen dari total biaya produksi untuk menyuap.
Suap dan korupsi terbukti melemahkan daya saing usaha. Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan, ada korelasi antara tingginya suap dan korupsi di suatu daerah dengan daya saing usaha di daerah bersangkutan. Banjarmasin, misalnya, memiliki daya saing lokal terbaik, yakni dengan 72,6 poin. Capaian ini seirama dengan poin IPK yang juga baik. Sebaliknya, Medan sebagai kota paling korup menurut survei TII juga memiliki poin indeks daya saing lokal terburuk, yakni 50,1 poin.
”Ada korelasi antara meningkatnya daya saing dengan perbaikan pelayanan publik dan kemudahan usaha yang dirasakan oleh responden. Ada kecederungan daya saing daerah yang rendah sejalan dengan kemudahan berusaha yang rendah pula di daerah itu,” kata Wawan.
Sejumlah sektor usaha strategis paling rentan praktik suap, yakni air minum, perbankan, dan kelistrikan. Sektor perizinan, pengadaan, dan penerbitan kuota perdagangan menempati posisi tiga tertinggi untuk sektor pelayanan usaha yang paling terdampak korupsi. Instansi legislatif, peradilan, dan kepolisian adalah tiga instansi paling korup menurut survei TII.
Temuan lain oleh TII juga menyebutkan penghambat pemberantasan korupsi terbesar menurut responden adalah karena korupsi dianggap bukan sebagai masalah penting. Skor anggapan itu 61,5 poin dari 100 poin maksimal. Rata-rata, dari 1.200 responden yang ditanyai, hanya 3 dari setiap 10 pelaku usaha yang mengetahui adanya Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) Daerah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, praktik-praktik yang menyulitkan pengusaha di lapangan memicu ekonomi biaya tinggi. Apindo melihat ada dua kecederungan yang kerap muncul dalam berusaha di Indonesia. Pertama, pengusaha seolah dipaksa untuk menyuap karena apabila tidak memberikan suap, mereka akan dipersulit oleh aparat birokrasi dalam mengurus izin atau mendapatkan proyek. Kedua, regulasi yang dibuat oleh pemerintah memang menyulitkan pengusaha secara sistematis atau by design (dengan sengaja).
”Suap kerap harus dilakukan karena kalau melewati prosedur yang biasa, sangat berbelit-belit. Itu memaksa pengusaha untuk mencari jalan cepat. Pengusaha diburu waktu untuk memutar omzet usahanya. Di sisi lain, birokrasi tidak mendukung semangat itu. Akhirnya, apabila pengusaha tidak melakukan itu (suap), pengusaha lainnya yang memberi suaplah yang akan diuntungkan. Dalam hal ini, kompetitor yang bermain kotor akan menang,” kata Hariyadi.
Suap kerap harus dilakukan karena kalau melewati prosedur yang biasa, sangat berbelit-belit. Itu memaksa pengusaha untuk mencari jalan cepat.
Dalam kondisi persaingan usaha tidak sehat itu, menurut Hariyadi, pengusaha mau tidak mau menyuap birokrasi untuk memudahkan usahanya. Sebab, apabila melewati mekanisme biasa, sangat memerlukan banyak waktu yang pada akhirnya juga menambah biaya modal. Suap yang diberikan kepada birokrasi juga sama-sama menambah biaya modal untuk produksi.
Aturan-aturan atau regulasi yang dibuat pemerintah juga kerap menyulitkan pengusaha untuk mengembangkan diri. Aturan yang terlalu rumit memaksa pengusaha mencari celah. Celah inilah yang berpotensi menimbulkan suap dan korupsi.
”Kalau pengusaha mesti berurusan dengan sistem yang rumit, mereka akan habis waktu. Pada saaat bersamaan, pengusaha memerlukan omzet mereka agar berputar guna bisa melayani pasar. Kalau pasar tidak segera dilayani, kompetitor mereka yang akan merebut pasar itu,” ujar Hariyadi.
Apindo secara institusional juga telah meminta pengusaha agar senantiasa melaporkan perbuatan suap dan korupsi yang dilakukan oleh pengusaha. Whistle blower (orang yang melaporkan tindak kejahatan) terus didorong untuk berani mengungkapkan praktik-praktik bisnis yang penuh suap. Namun, tidak semua pengusaha memiliki keberanian untuk mengatakan kebenaran itu.
”Deregulasi yang didengungkan pemerintah harus dibuktikan di lapangan. Jangan hanya menjadi omongan pemimpin semata, sedangkan di lapangan yang terjadi lain lagi. Sejumlah kebijakan yang menyulitkan pengusaha mestinya dikikis,” kata Hariyadi.
Ia antara lain mencontohkan kewajiban mendaftarkan produk dalam sertifikasi halal. Menurut Hariyadi, seharusnya hal itu tidak diwajibkan kepada pengusaha, sebab di negara mana pun di dunia sertifikat halal itu sifatnya sukarela. Apabila hal itu diwajibkan, yang muncul adalah celah jual-beli sertifikat halal yang lagi-lagi merupakan praktik suap.
Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi sangat berisiko mengikis kepercayaan terhadap aparatur negara.
Strategi nasional
Pemerintah memandang penting problem suap di daerah dna kalangan usaha. Diani Sadiawanti, staf ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional bidang hubungan Kelembagaan Bappenas, mengatakan, pemerintah melihat pentingnya pencegahan dan pemberantasan korupsi disikapi dalam suatu skema strategis yang dilakukan oleh pemerintah. Presiden melalui Inpres No 10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) membuat kebijakan antikorupsi itu menyentuh ke bumi dengan arahan-arahan teknis yang bisa diaplikasikan di daerah, termasuk penguatan mekansime e-government, e-permit, dan e-filling untuk pembayaran pajak.
”Untuk memotong pungutan liar, praktik suap, dan korupsi, nanti semuanya akan mengarah pada e-government. Pemerintah sudah tegas akan hal ini. Survei TII juga akan dijadikan arahan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan dalam PPK daerah,” kata Diani.
Sebuah Sekretariat Bersama (Sekber) sedang dirancang untuk dibentuk dalam upaya optimalisasi PPK daerah. Kerja sama itu dilakukan antara Kantor Staf Presiden (KSP), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kesadaran untuk membentuk Sekber ini didasari pertimbangan bahwa untuk mengatasi korupsi diperlukan kerja sama banyak pihak.
”Korupsi itu dilakukan dengan persekongkolan sehingga amat rumit untuk mengurai perkara korupsi, kecuali hal itu dilakukan secara bersama-sama,” kata Mohammad Tsani, penasihat KPK.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2012 tentang Stranas PPK perlu direvisi untuk mewujudkan suatu Sekber yang dikelola oleh tiga pihak. KPK diusulkan untuk menjadi tempat atau kantor bagi Sekber tersebut.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK tidak mungkin bekerja sendiri dalam pemberantasan korupsi. Peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif dibutuhkan. Pihak swasta, masyarakat, bahkan partai politik juga menjadi perhatian KPK.
”Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi sangat berisiko mengikis kepercayaan terhadap aparatur negara. Dalam konteks ini, pemberantasan korupsi yang konsisten perlu dilakukan. Seluruh pihak, termasuk pelaku usaha, memandang aspek kepasian hukum karena hal itu akan berpengaruh terhadap keputusan investasi, pengembangan usaha, dan perekrutan tenaga kerja di Indonesia,” kata Febri.
Dalam upaya pemberantasan korupsi di kalangan swasta, KPK sudah memiliki program PROFIT yang diinisiasi oleh bagian pencegahan di KPK bersama sejumlah kalangan. Pemerintah juga tengah merancang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gratifikasi. RPP Gratifikasi itu bahkan mendapatkan perhatian presiden dan izin prakarsa telah ditandatangani oleh presiden untuk selanjutnya dibahas di dalam Kementerian Hukum dan HAM. Baik program PROFIT dan RPP Gratifikasi telah masuk dalam Stranas PPK.
”Kami berharap inisiatif dan sambutan baik dari Presiden ini dipastuhi oleh jajaran birokrasi di bawahnya sehingga proses perizinan usaha tidak dipersulit, tidak ada biaya tambahan baik gratifikasi, ataupun pemerasan terhadak pelaku usaha. Dampak akhirnya ialah menjaga kepastian berusaha,” kata Febri.
Pengajar Manajemen Kebijakan Publik UGM, Gabriel Lele, mengingatkan pemerintah, program e-government dan e-permit, serta bentuk pelayanan online lainnya adalah alat atau sarana saha untuk memudahkan pelayanan publik. Namun, hal itu tidak menjamin korupsi hilang begitu saja.
”Yang perlu didorong juga oleh pemerintah ialah kesadaran antikorupsi dari sisi pengusaha, yakni good corporate governance. Di laur negeri, ketika perusahaan atau pengusaha melakukan suap, aset-asetnya dibekukan atau perusahaan itu dimasukkan daftar hitam (black list),” kata Gabriel.
Upaya mewujudkan perekonomian yang bebas korupsi akan menghadapi tantangan berat di Indonesia seiring dengan masih rendahnya kesadaran pengusaha akan antikorupsi sekaligus masih banyaknya regulasi yang menyulitkan mereka.
Semangat dasar dari e-government dan e-permit adalah trasparansi. Namun, di sisi lain masih ada celah-celah yang bisa dimasuki antara pengusaha dan birokrat apabila pengawasan oleh masyarakat juga tidak bisa dilakukan.
”Masih ada pengusaha yang melihat suap itu sebagai mekansime pasar yang normal dilakukan agar perusahaannya survive (bertahan). Nah, pandangan ini yang juga harus dikikis di kalangan pengusaha. Sebab, praktik suap itu memang hanya menguntungkan perusahaan besar dengan modal yang kuat dan mematikan perusahaan bermodal kecil. Dari sisi ini, good corporate governance menjadi penting ditekankan kepada pengusaha, tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah yang menciptakan regulasi,” katanya.
Upaya mewujudkan perekonomian yang bebas korupsi akan menghadapi tantangan berat di Indonesia seiring dengan masih rendahnya kesadaran pengusaha akan antikorupsi sekaligus masih banyaknya regulasi yang menyulitkan mereka. Kendati demikian, jalan terjal itu bagaimanapun mesti dilintasi untuk mewujudkan perekonomian yang lebih berkeadilan dan menyejahterakan. Penegakan hukum tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan masyarakat, termasuk kalangan usaha yang secara langsung akan terkena efek negatif dari korupsi. Pemeirntah pun diharapkan konsisten menerapkan regulasi yang ramah pada dunia usaha.