JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman tentang radikalisme perlu diperkuat di kalangan masyarakat akar rumput yang menjadi pengguna aktif media sosial. Sebab, media sosial menjadi lahan menjanjikan bagi jaringan teroris untuk menyebarkan paham radikal sekaligus merekrut simpatisan baru.
Penangkapan NH di Bandara Supadio, Kalimantan Barat, Senin lalu, karena hendak menuju kota Marawi, Filipina, membuktikan bahwa jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) masih gencar melakukan kampanye radikal di dunia maya. Padahal, kelompok Maute di Marawi sudah terdesak karena operasi militer oleh otoritas Filipina.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan, aktivitas NH di media sosial menjadikan dia teradikalisasi. NH bergabung dengan grup komunikasi di Facebook yang menghubungkannya dengan sejumlah simpatisan kelompok radikal dari sejumlah negara, seperti Malaysia dan Filipina.
"Secara fisik mereka belum pernah bertemu, tetapi NH diyakinkan dengan ajakan-ajakan di media sosial itu. Karena itu, kami memindahkan pemeriksaan NH ke Markas Komando Brimob di Depok sejak Selasa kemarin," ujar Martinus, Rabu (29/11), di Jakarta.
Meski tidak memiliki keterlibatan dengan jaringan teroris di Indonesia, lanjut Martinus, keterangan NH dibutuhkan untuk mengungkap pola komunikasi dan perekrutan jaringan NIIS di luar sel-sel teroris yang sudah ada di Indonesia, seperti Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan, kehadiran media sosial telah menjadi lahan yang dimanfaatkan jaringan kelompok teroris untuk menyebarkan paham radikal. Menurut Huda, masyarakat akar rumput, seperti NH dan buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri, rentan menjadi korban radikalisasi di media sosial karena pemahaman yang lemah terhadap radikalisme ataupun kelompok teroris.
"Media sosial telah menciptakan hiperealitas karena para korban tidak mengetahui kondisi sesungguhnya (kelompok teroris)," ujar Huda.
Atas dasar itu, tambah Huda, diperlukan sebanyak mungkin upaya untuk memberikan pemahaman isu radikalisme di kalangan agar rumput. Upaya tersebut diperlukan agar masyarakat bisa menciptakan ikatan emosi yang baru dan nyata terhadap isu radikalisme dan terorisme. Hal ini bisa membentengi mereka dari penyebaran paham radikal di media sosial.
"Namun, langkah itu tidak cukup dengan menghafal Pancasila. Sebab, radikalisme dipengaruhi jaringan sosial, konflik internasional, dan adanya kesempatan," katanya.
Selain itu, Huda menekankan, semua pihak seperti pemerintah, aparat keamanan, serta tokoh masyarakat dan agama, memberikan kampanye alternatif kepada masyarakat. Kampanye tersebut berisi tentang kondisi nyata dan terkini di basis kelompok teroris, seperti Suriah dan Filipina, termasuk konflik-konflik umat Islam di luar negeri. (SAN)