KPK Bergerak Cepat
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi tak akan melanjutkan pemeriksaan saksi dan ahli meringankan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto. Meski menghadirkan saksi dan ahli meringankan adalah hak tersangka, seharusnya hal itu tidak membuat penanganan perkara terkendala.
Pada Senin lalu, KPK menjadwalkan pemeriksaan tujuh politisi Partai Golkar dan lima ahli yang diajukan pihak Novanto. Namun, baru sebagian yang hadir memenuhi panggilan KPK.
"Kami sudah cukup dan tidak akan memeriksa saksi meringankan lagi. Kami sudah memberi ruang dan memfasilitasi sesuai Pasal 65 KUHAP," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Jumat (1/12).
Menurut dia, pihak Novanto juga turut mengusahakan kehadiran ahli dan saksi meringankan yang diajukan ke KPK. "Sudah dipanggil dan difasilitasi, tetapi tetap tidak datang. Jangan sampai justru menghambat penanganan perkara," tambah Febri.
Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 65/PUU-VIII/ 2010. Disebutkan, meskipun merupakan hak tersangka, pemeriksaan saksi dan ahli yang menguntungkan tersangka tetap harus memperhatikan batas-batas kewajaran dan juga kepentingan hukum masyarakat yang diwakili oleh negara. Proses ini bukan untuk menghalangi ditegakkannya hukum pidana.
Buka-bukaan
Sementara itu, keterlibatan Setya Novanto dalam korupsi pengadaan KTP elektronik 2011-2012 dijelaskan secara jernih oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis. Tak hanya Novanto, Andi juga mengungkap keterlibatan sejumlah anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri dalam proyek bernilai Rp 5,9 triliun itu.
Ia menerangkan tentang hadiah jam tangan senilai Rp 1,3 miliar untuk Novanto dan mengonfirmasi aliran dana korupsi 7 juta dollar AS melalui Made Oka Masagung, rekan Novanto di Singapura.
Selama ini, Andi memilih bungkam dan mengelak memberikan tanggapan atas keterangan para saksi. Namun, saat diperiksa sebagai terdakwa, Andi menceritakan panjang lebar kasus yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. "Saya memutuskan untuk membuka semua kotak pandora KTP elektronik ini," katanya.
Andi menuturkan, perjalanan korupsi pada proyek ini dimulai dari pertemuannya dengan Novanto bersama mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, serta Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto di Hotel Gran Melia pada 2010. Pertemuan berlangsung sekitar 10 menit. Meski singkat, pertemuan itu menentukan dilaksanakannya proyek KTP-el.
Pada pertemuan tersebut, menurut Andi, Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar menjamin dukungan Partai Golkar dalam proyek tersebut. "Pembahasan KTP-el ini memang di Komisi II. Namun, ketua komisinya, Burhanuddin Napitulu yang juga dari Golkar, belum dapat memastikan dukungan karena membutuhkan kepastian dari ketua fraksi," katanya.
Setelah dukungan diperoleh, Andi lalu membentuk Tim Fatmawati. Dari tim itu pula terbentuk Konsorsium Percetakan Negara RI yang terdiri dari PNRI, Sucofindo, PT LEN Industry, PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra. Paulus Tanos dari PT Sandipala turut terlibat intens memengaruhi Mendagri saat itu, Gamawan Fauzi, melalui Asmin Aulia (adik Gamawan) agar Konsorsium PNRI memenangi proyek KTP-el. Untuk itu Paulus menghadiahkan ruko di Grand Wijaya, Jakarta Selatan, kepada Asmin dan berjanji memberi sebidang tanah.
Sementara Andi juga memberikan imbalan dengan total 2,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 22 miliar ke Kemendagri melalui Irman. Pada 2011, Andi dan Paulus bertemu dengan Novanto dan Chairuman Harahap, politisi Partai Golkar, dan ditagih imbalan untuk DPR sebesar 5 persen dari nilai proyek.
Terkait keterangan Andi, Febri mengatakan, hal itu akan menjadi pijakan baru KPK untuk memperkuat fakta dan bukti dalam berkas Novanto. (INA/IAN/MDN)