Tiga Pejabat Terima Imbalan
JAKARTA, KOMPAS — Setidaknya tiga pejabat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, ikut menerima imbalan dari Adi Putra Kurniawan, terdakwa penyuap mantan Dirjen Hubla, Kemenhub, Antonius Tonny Budiono.
Para pejabat itu menerima imbalan dalam bentuk kartu anjungan tunai mandiri (ATM) sebuah akun berisi miliaran rupiah yang diberikan terdakwa. Keterlibatan para pejabat itu diungkap dua pejabat di Ditjen Hubla, Kemenhub, yang menjadi saksi sidang lanjutan Adi sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (4/12).
Kedua pejabat itu adalah Mauritz HM Sibarani, Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Perak, Surabaya, serta Otto Patriawan, Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas V Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Adi Putra menjadi terdakwa dalam kasus suap terkait perizinan dan pengadaan proyek-proyek di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut tahun anggaran 2016-2017. Adi memberikan imbalan Rp 2,3 miliar kepada Antonius. Imbalan diberikan karena Antonius bisa meloloskan perusahaannya sebagai pemenang lelang pekerjaan pengerukan Pelabuhan Pulang Pisau, Pelabuhan Samarinda di Kalimantan Timur, dan Pelabuhan Tanjung Emas di Jawa Tengah.
Menurut Mauritz, kartu ATM itu diberikan dua kali oleh Adi, tetapi baru pemberian yang kedua kalinya pada sekitar Juli 2017 dia mau menerima. Pemberian ATM yang pertama terjadi pada 2016 saat dia menjabat sebagai Direktur Kepelabuhanan di Kemenhub. Namun, waktu itu ditolak Mauritz dengan alasan takut. ”Yang kedua saya terima karena terkait dengan bantuan pindahan saya ke Surabaya sebagai KSOP Tanjung Perak,” ujarnya.
Yang kedua saya terima karena terkait dengan bantuan pindahan saya ke Surabaya sebagai KSOP Tanjung Perak.
Kartu ATM dibuang
Mauritz menambahkan, pemberian ATM untuk yang kedua kali itu diterimanya juga karena ia merasa telah memberikan bimbingan teknis terkait penambahan barang di Pelabuhan Tanjung Emas. Saat itu, PT Adhiguna Keruktama, tempat Adi menjabat sebagai komisaris, berniat menambah peralatan untuk mempercepat pekerjaan pengerukan di Pelabuhan Tanjung Emas.
Nilai saldo dalam ATM yang diterimanya semula Rp 100 juta, yang kemudian ditarik Rp 88,7 juta untuk membiayai kepindahannya ke Surabaya. Namun, saat penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Adi dan Antonius, akhir Agustus lalu, kartu ATM segera dibuang. ”Uang yang saya tarik dengan menggunakan kartu ATM itu sudah saya serahkan kembali ke KPK. Sementara kartu ATM sudah saya buang setelah kejadian (operasi tangkap tangan atau OTT Adi dan Antonius),” katanya.
Uang yang saya tarik dengan menggunakan kartu ATM itu sudah saya serahkan kembali ke KPK. Sementara kartu ATM sudah saya buang setelah kejadian.
Otto juga membuang kartu ATM yang diberikan Adi setelah tahu Adi dan Antonius ditangkap KPK. Pemberian ATM ke Otto karena dia kuasa pengguna anggaran untuk proyek pengerukan Pelabuhan Pulang Pisau. Dari kartu ATM itu, Otto menarik uang hingga Rp 200 juta yang telah diserahkan kepada KPK. ”Sebelum ditarik, saldonya Rp 800 juta,” ucap Otto.
Kartu ATM itu, sebut Otto, juga digunakan Safril Immanuel Ginting, pejabat Kemenhub yang ditugaskan sebagai pejabat pembuat komitmen proyek pengerukan Pelabuhan Pulang Pisau. Safril ikut menarik uang menggunakan ATM itu hingga tiga kali senilai Rp 150 juta. Total dana yang ditarik Otto dan Safril Rp 350 juta. Nama Adi selama ini tak dikenal Mauritz dan Otto. Keduanya hanya tahu panggilannya Yeyen. ”Saat diperiksa KPK, baru tahu namanya Adi,” katanya.
Sejauh ini, total suap yang ditemukan tim KPK saat OTT sebanyak Rp 20,74 miliar dengan rincian Rp 18,9 miliar ditemukan tunai tersimpan di 33 tas ransel yang diletakkan di Mes Perwira Gunung Sahari yang ditempati Antonius. Sisanya, Rp 1,174 miliar, di rekening bank swasta. Selain itu, ditemukan sejumlah kartu ATM. Nilai total uang yang disita KPK tercatat yang terbesar dalam sejarah OTT KPK. (MDN)