JAKARTA, KOMPAS — Baru 38 persen perusahaan di Indonesia yang memiliki sistem pencegahan korupsi memadai. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi merampungkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis bagi perusahaan untuk membangun sistem pencegahan korupsi sejalan dengan pidana korporasi yang mulai berlaku.
Persentase ini berasal dari kajian Transparency International Indonesia (TII) bertajuk ”Indonesia Transparency in Corporate Reporting” yang diluncurkan di Jakarta, Rabu (6/12). TII mengkaji 100 perusahaan badan usaha milik negara dan swasta dari 9 sektor usaha yang masuk 100 perusahaan besar versi majalah Forbes tahun 2014.
”Ini menjadi pekerjaan rumah bagi KPK. Target Januari atau Februari 2018, petunjuk yang lengkap sudah selesai dan bisa disebarluaskan. Dalam petunjuk itu nanti dijelaskan mengenai bagaimana perusahaan menghindari suap, bergerak antikorupsi, dan lain-lain,” tutur Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
Dalam petunjuk itu nanti dijelaskan mengenai bagaimana perusahaan menghindari suap, bergerak antikorupsi, dan lain-lain.
Dalam kesempatan itu, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo menjelaskan, korupsi korporasi berpotensi menciptakan inefisiensi dan menurunkan efektivitas kerja. Perusahaan yang punya perilaku koruptif juga berdampak negatif pada iklim perekonomian. ”Karena pada akhirnya kompetisi akan dibangun dengan sistem yang tidak baik,” ujar Rimawan.
Berdasarkan hasil dari Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM, pihak swasta yang terindikasi korupsi mencapai 670 orang. Sedangkan berdasarkan data dari KPK sejak berdiri hingga sekarang, pihak swasta yang paling banyak ditindak 170 orang.
Dari kajian tersebut, tidak ada perusahaan yang masuk dalam kategori A dan B untuk transparansi. Peringkat lima besar pun dipegang Pertamina (6,7), Bank Mandiri (6,4), Timah (6,4), Bank Rakyat Indonesia (6,3), dan AKR Corporindo (6,2). Kisaran skor 0 untuk yang paling tidak transparan dan 10 sangat transparan.
Sektor tambang
Pada saat bersamaan di Gedung KPK, Jakarta, 2.509 dari 9.353 izin usaha pertambangan akan diblokir per Januari 2018 oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, karena bermasalah.
”Harapannya, tidak ada lempar-lemparan di daerah. Kalau kepala daerah tidak berani mencabut, ini perlu dipertanyakan, ada apa,” kata Direktur Jenderal AHU Kemenkumham Freddy Haris. (IAN)