Liku-liku Meraih Proyek KTP Elektronik…
Memenangi dan mendapatkan untung dari proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik di Kementerian Dalam Negeri tahun 2011-2012 ternyata memerlukan jalan berliku. Ini setidaknya diungkapkan oleh Andi Narogong alias Andi Agustinus, pengusaha yang menjadi salah satu
terdakwa dalam perkara korupsi proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.
Pada sidang korupsi pengadaan KTP-el di Pengadilan Tipikor, pekan lalu, Andi mengungkap bagaimana hampir separuh dari anggaran proyek tersebut menjadi bancakan pihak-pihak yang terkait dengan KTP-el.
”Saya ditendang dari proyek e-KTP (KTP elektronik) pada 2012. Giliran ada masalah,
itu dilemparkan ke saya semua. Makanya saya akhirnya berpikir lebih baik kooperatif dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Saya membuka semua yang terjadi supaya saya bisa sampaikan keterangan yang jelas,” tutur Andi, Kamis (30/11), di hadapan majelis hakim yang diketuai Jhon Halasan Butarbutar.
Saya ditendang dari proyek e-KTP (KTP elektronik) pada 2012. Giliran ada masalah,itu dilemparkan ke saya semua.
Rintangan untuk memenangi proyek itu, diakui Andi, mulai datang pada 2010 saat merintis dukungan anggaran dari DPR lewat bantuan Setya Novanto, saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Saat itu, Novanto memperkenalkan dirinya kepada Ketua Komisi II Chairuman Harahap (juga dari Fraksi Golkar) dan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi Demokrat Mirwan Amir.
Kedua politisi tersebut diperkenalkan Novanto karena memiliki akses untuk membahas anggaran pengadaan KTP-el, selain keduanya juga berasal dari partai dengan kursi terbanyak di DPR.
Namun, rupanya Mirwan memiliki agenda tersendiri terkait proyek tersebut. Andi menyebutkan, Mirwan saat itu berusaha menguasai proyek KTP-el dengan menggandeng seorang pengusaha, Yusnan Solihin. Andi pun dibujuk Yusnan untuk membentuk perusahaan yang akan mengatur proyek itu.
Andi mengaku biasa saja menanggapi tawaran tersebut. Sebab, pada saat itu, Andi telah menjalin relasi dengan pengusaha lain, Paulus Tanos, yang merupakan orang Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Meskipun demikian, Andi mengakui bahwa Yusnan juga telah memiliki persiapan infrastruktur yang lumayan lengkap untuk pengadaan KTP-el. Namun, Andi tetap memilih menghindari tawaran Mirwan dan memilih tetap bersama Paulus.
”Saat itu Paulus sudah berinvestasi lumayan besar untuk proyek KTP dengan membeli pabrik, termasuk mengeluarkan biaya untuk pengadaan alat. Sebagai pengusaha, saya tidak mau dianggap kutu loncat,” katanya.
Saat itu Paulus sudah berinvestasi lumayan besar untuk proyek KTP dengan membeli pabrik, termasuk mengeluarkan biaya untuk pengadaan alat.
Andi pun membentuk Tim Fatmawati untuk menyusun spesifikasi teknis pengadaan KTP-el. Dari tim itu pula, Andi bergabung dengan Konsorsium Percetakan Negara RI yang terdiri dari PNRI, Sucofindo, PT LEN Industry, PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra. Dalam konsorsium tersebut, Paulus dari PT Sandipala Arthaputra.
Sementara Mirwan dan Yusnan tetap berusaha mengikuti lelang KTP-el dengan bergabung dalam Konsorsium Murakabi. Namun, kemudian, kata Andi, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman tak meloloskan Konsorsium Murakabi ke delapan besar sehingga PNRI dapat diloloskan sebagai pemenang lelang.
Subkontraktor
Bersama PNRI, Andi mengaku berharap dapat terlibat sebagai subkontraktor untuk pengadaan KTP-el. Oleh karena itu, dia mengubah izin usaha salah satu perusahaannya, CV Wijaya Kusuma, menjadi perusahaan percetakan. Namun, perusahaan tersebut tetap tak bisa ikut sebagai subkontraktor karena belum mengantongi izin untuk mencetak KTP.
Oleh karena itu, Andi berharap dapat terlibat di PT Quadra Solution dengan meminjamkan Rp 35 miliar kepada Anang Sugiana Sudiharjo, pemilik perusahaan itu. Namun, hal itu pun gagal lantaran Anang menjual perusahaannya kepada investor asing akibat membutuhkan modal usaha hingga Rp 200 miliar. Sementara uang muka untuk menjalankan pengadaan KTP elektronik saat itu tidak juga diberikan oleh Irman.
Karena tidak memperoleh pekerjaan, Andi memutuskan keluar dari konsorsium. Dia mengaku saat itu telah mengeluarkan biaya hingga Rp 2,2 juta dollar AS sebagai imbalan yang disetorkan kepada Irman agar pembahasan anggaran proyek KTP-el dapat diloloskan DPR dan Konsorsium PNRI
dapat diloloskan sebagai pemenang lelang.
Untuk itu, Andi meminta kepada Johannes Marliem dari PT Biomorf Mauritius selaku pemasok Afis ke Konsorsium PNRI untuk mengganti uang yang telah dikeluarkannya. Marliem pun bersedia menggantinya dan menyetorkan 2,2 juta dollar AS kepada Andi. Marliem menambahkan dengan imbalan 300.000 dollar AS.
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Jhon Halasan Butarbutar, Andi menyatakan akan mengembalikan uang yang telah diterima dari Marliem. Andi mengaku bersalah dan bersedia mengembalikan uang pemberian Marliem itu karena dia menyadari uang tersebut bersumber dari uang negara.
Atas perbuatannya itu, Andi dituntut oleh jaksa KPK dengan pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Andi pun dituntut membayar uang pengganti 2.150.000 dollar AS dan Rp 1,1 miliar. Menurut jaksa, Andi telah memperkaya sejumlah pihak, termasuk Novanto.
Peristiwa yang dialami Andi ini semestinya menjadi pelajaran bagi para pengusaha lain
dalam upaya memenangi proyek yang dibiayai negara. Tak hanya merugikan negara, tetapi jutaan rakyat juga turut menanggung kesulitan untuk mengakses KTP-el hingga kini. (MDN)