Jaga Kedekatan dengan Rakyat
SOLO, KOMPAS — Para pengambil kebijakan wajib menjaga kedekatan dengan rakyat yang dipimpin. Kedekatan ini dibutuhkan agar segala sesuatu yang diputuskan sesuai dengan kepentingan masyarakat bawah. Dengan cara ini, hak ekonomi, sosial, kultural, dan politik warga terjamin adil.
Pernyataan itu disampaikan Presiden Joko Widodo pada peringatan ke-69 Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional di Solo, Jawa Tengah, Minggu (10/12). ”Para pengambil kebijakan, politisi, birokrat, pemimpin sosial, bahkan para pengusaha harus bisa melihat keadaan dari sisi masyarakat bawah, dari sisi kepentingan masyarakat bawah,” kata Presiden.
Para pengambil kebijakan, politisi, birokrat, pemimpin sosial, bahkan para pengusaha harus bisa melihat keadaan dari sisi masyarakat bawah, dari sisi kepentingan masyarakat bawah.
Langkah itu dibutuhkan agar prinsip-prinsip HAM dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain hak-hak sipil dan politik, rakyat harus terpenuhi hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural. ”Itulah mengapa saya selalu berusaha mengawal kebijakan dari hulu hingga hilir, mengontrol, mengecek, mengawasi, memonitor persoalan di masyarakat,” ujar Presiden.
Kebijakan yang baik, menurut Presiden Joko Widodo, bukan seberapa banyak yang dilakukan pemerintah, melainkan seberapa besar kebijakan itu bisa dirasakan manfaatnya, terutama masyarakat bawah. Presiden mengakui hingga kini masih banyak pekerjaan rumah penegakan HAM yang belum bisa dituntaskan, termasuk pelanggaran HAM masa lalu. Untuk penuntasan dan penegakan hukum, masalah HAM dibutuhkan kerja sama banyak pihak.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menambahkan bahwa perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia saat ini semakin baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya pemerintah daerah yang berkomitmen melaksanakan rencana aksi nasional HAM (Ran HAM). Dokumen ini merupakan panduan nasional untuk pemenuhan HAM bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pelaksanaan Ran HAM di daerah, dalam catatan Yasonna, mencapai 52,26 persen.
Pelanggaran masih terjadi
Sementara itu, menghadapi sederet masalah HAM saat ini, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, ketujuh komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM sepakat menjadikan tahun politik 2018-2019 sebagai isu strategis, yakni menguatnya radikalisme dan kekerasan sosial.
”Kami memperkirakan dan melihat tren data, peristiwa politik pemilihan kepala daerah serta pemilihan presiden dan wakil presiden itu menimbulkan friksi dan gesekan di masyarakat, termasuk praktik rasial dan diskriminasi. Kami tak mau tiba-tiba pemilu yang sudah baik secara prosedural dirusak oleh praktik kekerasan oleh aparat ke masyarakat maupun sesama masyarakat. Kami anggap ini serius,” papar Taufan di sela peringatan Hari HAM Internasional di Museum Fatahillah, Jakarta.
Kami tak mau tiba-tiba pemilu yang sudah baik secara prosedural dirusak oleh praktik kekerasan oleh aparat ke masyarakat maupun sesama masyarakat.
Taufan mengatakan, Komnas HAM telah membuat strategi untuk mengatasi menguatnya populisme di masyarakat, salah satunya bertemu dengan Badan Pengawas Pemilu dan akan bertemu dengan Komisi Pemilihan Umum. Harapannya ada kesepakatan bersama dengan Bawaslu dan KPU terkait dengan standar HAM berkampanye.
”Standar HAM itu akan dijadikan pegangan, bukan hanya di tiga pihak kami, melainkan juga dengan partai politik dan masyarakat. Tentu kami tak akan mencampuri teknis pemilu,” kata Taufan.
Terkait dengan eskalasi konflik di Papua, Taufan menyampaikan, pihaknya telah bertemu dengan Presiden Jokowi di Solo, Minggu pagi, dan meminta Presiden menempuh jalur perundingan.
Terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat, menurut Taufan, Presiden menaruh perhatian khusus dan berinisiatif mengadakan pertemuan lanjutan untuk membahasnya. ”Presiden menawarkan bagaimana bertemu lagi, dan dalam pertemuan itu, kita akan membicarakan solusinya karena tak mungkin persoalan itu dibiarkan terus,” ujar Taufan.
Secara terpisah, saat peringatan Hari HAM Internasional, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengingatkan, politik populisme yang terpolarisasi untuk kepentingan pemilu lewat menguatnya politik identitas, sentimen keagamaan, primordialisme, hingga kesukuan masih akan terjadi tahun mendatang.
Yati menilai, politik semacam itu sangat berbahaya karena mudah menyebabkan friksi di masyarakat. Padahal, di sisi lain, berkembang pula politik populisme akibat nasionalisme sempit yang berujung tindakan represif.
”Pelanggaran HAM akan terus terjadi dan terus meningkat menjelang tahun politik 2018-2019. Pelakunya juga kian beragam,” kata Yati.
Pelanggaran HAM akan terus terjadi dan terus meningkat menjelang tahun politik 2018-2019. Pelakunya juga kian beragam
Sepanjang Januari-Oktober 2017, Kontras mencatat sedikitnya terjadi 223 peristiwa pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan korban 526 orang. Memburuknya kualitas kebebasan berekspresi itu sejalan dengan turunnya Indeks Demokrasi Indonesia 2015-2016 yang disusun Badan Pusat Statistik, yakni menurun dari 72,83 menjadi 70,09. (NDY/MDN)