Marawi Masih Jadi Magnet
Kemasyhuran nama Marawi tak lepas dari keputusan pemimpin kelompok Abu Sayyaf wilayah Basilan, Filipina, yakni Isnilon Hapilon, untuk menjadikan Marawi wilayah Katibah Nusantara atau sayap NIIS di Asia Tenggara. Mandat untuk Isnilon diberikan juru bicara NIIS di Suriah, Taha Subhi Falaha alias Abu Mohammad al-Adnadi, pertengahan 2016.
Pemilihan kota berpopulasi sekitar 201.000 jiwa itu sebagai basis NIIS Asia Tenggara tak lepas dari pengaruh pemimpin milisi Maute, Omarkhayam Maute atau Omar Maute. Ia salah satu pemimpin kelompok bersenjata yang mengikrarkan diri dengan NIIS dan jadi pendukung Abu Sayyaf, pimpinan Isnilon.
Sejak itu, sejumlah sel kelompok teroris mendeklarasikan dukungan ke Isnilon dan Omar, bahkan sebagian dari mereka menjadikan Marawi tujuan alternatif setelah kian mustahil masuk ke Suriah lewat perbatasan Turki. Terhitung sejak akhir 2016, sekitar 20 orang Indonesia di Marawi, dan ikut bertempur melawan militer Filipina.
Warga asal Indonesia itu masuk lewat jalur laut dari Tarakan, Kalimantan Utara, kemudian menyeberang ke Tawau di Malaysia. Setelah itu, melalui jaringan simpatisan NIIS, mereka dibawa memakai perahu motor memasuki wilayah Filipina.
Hubungan Omar dengan Indonesia pun sangat kuat. Setelah mengenyam pendidikan hampir satu dekade di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, ia ke Indonesia bersama istrinya, Minhati Madrais. Omar pernah jadi pengajar di pondok pesantren keluarga Minhati di Bekasi, Jawa Barat.
Awal dekade 2010-an, Omar kembali ke Filipina membawa Minhati. Mereka menetap di kampung halaman Omar di Marawi bersama enam anak.
Propaganda
Sejak Mei 2017, ada 7 aksi teror di Indonesia. Teror itu dilakukan jaringan NIIS teraktif di Indonesia, yaitu Jamaah Ansharut Daulah. Seperti ingin balas dendam atas nasib ”saudara” di Filipina, sasaran aksi teror mereka adalah anggota dan fasilitas Polri.
Meski tiga pemimpin utama NIIS di Marawi, yakni Isnilon, Omar, dan Mahmud Ahmad— asal Malaysia, sudah tewas pada Oktober-November lalu, keinginan jaringan NIIS di Indonesia menuju Marawi tak surut.
Saat penangkapan 24 terduga teroris oleh tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri pada awal Desember, sebagian punya rencana ke Marawi. Satu orang, H, ditangkap di Malaysia, lalu 4 lainnya di Kalimantan Barat karena terkait H mendukung NIIS di Marawi. Selain itu, 11 orang ditangkap di Riau, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan telah melakukan pelatihan paramiliter di perkebunan sawit di Kampar, Riau.
Lalu, apa penyebab Marawi masih jadi primadona? Hal itu, salah satunya, tak lepas dari masih aktifnya gerilya propaganda NIIS di medsos. Video berbahasa Inggris yang diunggah NIIS di Suriah, Agustus 2017, mengajak seluruh simpatisan dan pendukung NIIS menuju Marawi dan membantu milisi Maute di sana.
Hingga kini, video yang dipublikasikan lewat Pusat Media Al-Hayat milik NIIS dan diberi judul ”Inside the Khalifah” masih ditemukan di grup Telegram kelompok itu. Sejumlah akun medsos jaringan NIIS juga masih memakai video untuk mengajak teroris asing menuju Marawi.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan, kehadiran medsos membuat propaganda NIIS tak akan berhenti. Meskipun kondisi nyata sudah tak seperti dalam propagandanya, para simpatisan dan anggota jaringan NIIS diberi gambaran realitas yang bertujuan meningkatkan minat terus ”berjuang” untuk kelompok itu.
”Karena itu, pemahaman di medsos tentang kondisi nyata kelompok (NIIS) itu harus diperkuat, terutama untuk kalangan masyarakat akar rumput,” ujarnya.
Laporan Institut untuk Analisis Kebijakan Konflik berjudul Post-Marawi Lessons from Philippine Detainees, yang dipublikasikan November 2017, menyebutkan dukungan NIIS juga tidak berkurang di Filipina. Sejumlah komunitas Muslim urban di wilayah lain negara itu, misalnya Luzon, Cotabato, Cagayan, dan Manila, sudah teradikalisasi. Mereka jadi sel-sel tidur simpatisan NIIS yang bisa jadi ancaman di Filipina dan Asia Tenggara umumnya.
Menurut Direktur IPAC Sidney Jones, operasi di Marawi tak otomatis melemahkan pengaruh kelompok NIIS. Bahkan, cara-cara Omar merekrut pengikut di lembaga pendidikan di Marawi telah menyebar ke wilayah lain, seperti Cotabato.
Di daerah itu, kelompok radikal baru yang didominasi anak muda sebagian besar berasal dari kalangan lulusan perguruan tinggi, bukan lagi berasal dari kelompok masyarakat miskin atau termarjinalkan secara ekonomi-budaya seperti anggota kelompok teroris di Filipina.
Sebagai langkah antisipasi, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian juga secara intens melakukan koordinasi dengan otoritas kepolisian Malaysia dan Filipina. Langkah itu bertujuan meredam kedatangan jaringan NIIS di Indonesia menjadi pejuang teroris asing di Filipina.
Proses damai
Namun, langkah yang dilakukan Polri tentu belum bisa sepenuhnya meredam keinginan simpatisan NIIS ke Marawi. Menurut Malcolm Cook, dalam artikelnya di The New York Times, awal November lalu, yang berjudul Unexpected Benefits From a Battle Against ISIS, keberhasilan operasi militer melemahkan milisi Maute harus jadi momentum bagi Pemerintah Filipina memulai kembali dan memperbaiki proses damai dengan kelompok Muslim di Mindanao.
Proses perdamaian yang telah dimulai sejak dua dekade silam, tambah Cook, harus dihidupkan kembali untuk merangkul kelompok Muslim di Mindanao, terutama untuk mencegah pemuda Muslim bergabung dengan kelompok teroris.
”Tak hanya operasi militer, pemerintah juga harus merangkul Muslim di Filipina Selatan. Beri perlakuan berbeda bagi Muslim yang tak terkait teroris,” kata Tito dalam sejumlah kesempatan.
Ya, penegakan hukum tidak akan sepenuhnya meredam perkembangan kelompok NIIS. Sebab, NIIS masih dan terus mengembangkan sarana meluaskan jangkauan ideologi radikal yang tidak bisa dilenyapkan dengan senjata api.
(MUHAMMAD IKHSAN MAHAR)