JAKARTA, KOMPAS — Untuk menjamin kelancaran Pemilihan Kepala Daerah 2018, Kepolisian Negara RI menyiapkan sistem pendampingan melekat pada calon kepala daerah. Upaya itu dilakukan dengan pertimbangan selain keamanan calon kontestan, juga menjadi ruang komunikasi antara partai, calon kepala daerah, dan kepolisian.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan, setiap kepala satuan wilayah (kasatwil) Polri akan menyesuaikan kondisi dan situasi terkini di tiap daerah untuk menentukan langkah saat pengamanan Pilkada 2018.
Setiap pemimpin kepolisian di daerah juga akan menyiapkan anggotanya untuk mendampingi setiap calon sejak penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah. ”Peran personel kepolisian yang mendampingi kontestan pilkada sangat penting sebab mereka adalah pemberi informasi utama ke kasatwil untuk menentukan tindakan keamanan selama pilkada,” ujar Martinus, Jumat (22/12), di Mabes Polri, Jakarta.
Selain kepada pasangan calon kepala daerah, personel pendamping itu juga akan menjalin komunikasi dengan parpol dan KPU daerah. Hal itu dilakukan untuk menjamin keamanan dan ketertiban pasangan calon kepala daerah selama menjalani kegiatan kampanye hingga pemungutan suara.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, menuturkan, kontestasi Pilkada 2018 melibatkan partai politik di pusat sehingga semua anggota kepolisian daerah perlu mengetahui perkembangan situasi di tingkat nasional. Langkah itu diperlukan untuk mengidentifikasi dan mendeteksi dini ancaman keamanan Pilkada 2018.
”Karena itu, unit intelkam (intelijen dan keamanan) serta baharkam (badan pemelihara keamanan) Polri memiliki peran sentral untuk menjamin kondisi kondusif selama pesta politik,” kata Poengky.
Aturan lanjutan kampanye
Untuk memastikan Pilkada 2018 berjalan lancar, Hadar Nafis Gumay, mantan komisioner KPU, mengusulkan aturan yang lebih rinci mengatur kampanye di media sosial. Hal itu didasari kekhawatiran merebaknya kembali isu terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) seperti pilkada di DKI Jakarta. ”Pengaturannya sudah ada, tetapi belum ketat. Terkait medsos, itu belum diatur dalam Undang-Undang Pilkada,” ujarnya.
Menurut Hadar, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada melarang kampanye menyangkut SARA dan politik identitas atau isu kesukuan. Namun, UU tersebut tidak rinci menyatakan medium kampanye yang digunakan, seperti medsos. ”Padahal, hal itu paling banyak dan gampang menjadi masalah. Akibatnya, tak mudah memang menegakkan hukum sehingga KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu menetapkan pengaturan ekstra mencegah dampak buruk pilkada,” katanya.
Ketua Bawaslu Abhan Misbah menambahkan, lembaga yang dipimpinnya tengah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Polri untuk merumuskan penanganan efektif terkait isu SARA dan intoleransi. (SAN/MHD)