”Gokil, jam tangan bisa semahal itu,” kata hakim Jhon Halasan Butarbutar. Pernyataan tersebut muncul setelah jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan bahwa jam tangan Richard Mille yang diperoleh mantan Ketua DPR Setya Novanto dari pengusaha Konsorsium Percetakan Negara RI, pemenang lelang pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), berharga Rp 1,3 miliar.
Jhon adalah ketua majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang mengadili perkara KTP-el dengan terdakwa mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman; mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto; dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Terkait kata gokil yang disampaikannya di persidangan, Jhon mengatakan, hakim juga perlu membangun suasana nyaman. ”Terkadang kita harus membuat ice breaking agar saksi dan terdakwa rileks saat menyampaikan keterangan,” ucap Jhon, Kamis (21/12) malam.
Malam itu, Jhon tengah bersiap mengangkut semua buku dari ruang kerjanya di Pengadilan Tipikor Jakarta ke tempat tugasnya yang baru, yaitu sebagai hakim tinggi di Pontianak, Kalimantan Barat. Mutasi ini berdasarkan hasil rapat pimpinan Mahkamah Agung yang ditandatangani 20 Oktober 2017.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, mutasi juga dialami Deddy Suryanto. Ketua majelis hakim perkara korupsi pengadaan satelit pemantauan di Badan Keamanan Laut (Bakamla) di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta itu dimutasi sebagai Wakil Kepala Pengadilan Militer Tinggi Medan, Sumatera Utara.
Dalam persidangan perkara KTP-el, majelis hakim yang diketuai Jhon telah menjatuhkan pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan untuk Andi Narogong. Sementara Irman dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan 5 tahun penjara bagi Sugiharto.
Dalam putusan terhadap Andi Narogong, majelis hakim yang dipimpin Jhon juga membuat pertimbangan yang memperkuat keterlibatan sejumlah pihak dalam korupsi itu, salah satunya Novanto yang telah menjadi terdakwa dalam korupsi ini.
Sementara itu, majelis hakim yang diketuai Deddy menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara untuk Laksamana Pertama Bambang Udoyo dalam korupsi pengadaan satelit pemantauan di Bakamla. Selain menjatuhkan vonis yang lebih berat dari tuntutan oditur, yaitu empat tahun penjara, dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim yang diketuai Deddy juga membuat pertimbangan bahwa korupsi tersebut diduga turut melibatkan Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Sudewo. Deddy pun menyarankan agar Arie dilaporkan ke penyidik POM.
Anak kos
Selama bertugas sebagai hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta sejak 2014, Jhon tinggal di kos. Setiap tiga minggu, dia mengunjungi keluarganya yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah.
Dengan pengalaman lebih dari 27 tahun menjadi hakim, Jhon punya cukup jam terbang dalam mengendalikan persidangan, termasuk menghadapi sejumlah saksi yang memilih bungkam, seperti dalam perkara KTP-el. ”Pengalaman hampir 30 tahun sebagai hakim, menemui begitu banyak saksi dan terdakwa, itu saya tetap pakai naluri. Selain itu juga diperkuat dengan bukti di persidangan,” katanya.
Sementara Deddy menuturkan, dirinya juga menyerap informasi di sejumlah media untuk menghadapi kejanggalan pada keterangan saksi. Saat mengadili perkara korupsi, Deddy menyatakan dirinya juga mengemban tanggung jawab terhadap publik untuk menyelamatkan uang negara yang dikorupsi.
”Sebagai hakim, kami ini harus punya kepekaan terhadap kepentingan publik. Apa yang terjadi pada korupsi di Bakamla, itu mengkhianati publik, bangsa, dan negara,” ujarnya.
Selain mengadili korupsi di Bakamla, Deddy juga pernah mengadili korupsi pengadaan alat utama sistem persenjataan pada 2016. Dalam perkara ini, ia menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap Brigadir Jenderal Teddy Hernayadi yang didakwa korupsi hingga 12 juta dollar AS. Vonis itu lebih berat dibandingkan dengan tuntutan oditur berupa pidana 12 tahun penjara.
Dalam jenjang kepangkatan di militer, sesungguhnya Deddy masih berpangkat kolonel atau berada di bawah para terdakwa yang pernah diadili. Namun, hal itu tak menghalangi Deddy untuk menjatuhkan vonis. Pasalnya, sebagai institusi yang langsung berada di bawah kendali Mahkamah Agung, Pengadilan Militer tak bisa diintervensi oleh kalangan TNI.
Deddy meyakini, selama keputusan hakim dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, antara lain dengan menjatuhkan hukuman pidana yang berat, hal itu dapat menekan korupsi di Indonesia. ”Kita harus optimistis, jika hukumannya berat, korupsi pun bisa ditekan,” ucapnya.
Sementara Jhon berkeyakinan, pengungkapan korupsi harus terus diberitakan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya korupsi.
Dengan korupsi yang sudah menggurita di berbagai lembaga negara, sudah sepatutnya publik tak hanya mengawal pengungkapan kasus korupsi. Para pendekar pemberantas korupsi juga mesti didukung dan dijaga.