Era Pertarungan Digital Dimulai
Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mulai menggunakan sarana internet dan media sosial sebagai sarana propaganda sejak awal 2013. Mereka menggunakan media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Telegram, untuk menyebarkan paham radikal. Penggunaan internet belum pernah digunakan kelompok teroris lain, misalnya Al Qaeda.
Secara perlahan, kampanye radikal NIIS di media sosial membuahkan hasil. Khusus di Indonesia, hal itu mengakibatkan sejumlah sel tidur Jamaah Islamiyah mendeklarasikan diri sebagai pendukung NIIS yang kemudian bergabung ke dalam Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Lalu, 594 warga Indonesia menuju Suriah. Beberapa aksi teror terjadi pada 2016-2017 yang mengatasnamakan NIIS serta hadirnya fenomena baru, yakni pelaku teror tunggal (lone wolf) dan buruh migran sebagai pelaku teror.
NIIS juga menjadikan media sosial sebagai sarana komunikasi mereka. Instruksi NIIS di
Suriah selalu diikuti oleh para pengikutnya di seluruh belahan dunia, seperti perintah untuk melakukan aksi teror di negara sendiri jika tidak bisa bergabung ke Suriah.
Kemudian, ada pula instruksi mengenai berbagai cara serangan teror, misalnya serangan bom dan tembakan senjata api, menabrakkan truk ke kerumunan massa, serta penyerangan dengan benda tajam secara acak. Semua telah menjadi identitas serangan NIIS tak hanya di Indonesia, tetapi juga di Eropa dan Amerika Serikat.
Pertengahan 2016, NIIS memberikan instruksi untuk menggunakan perempuan dan anak-anak dalam serangan teror. Menurut Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal (Pol) Hamli, instruksi itu menjadi penyebab buruh mig- ran mulai diidentifikasi menjadi simpatisan kelompok radikal.
Berdasarkan data BNPT, selama 2016-2017, sebanyak 50 pekerja migran perempuan asal Indonesia memiliki keterkaitan dengan kelompok NIIS. Bahkan, dua orang di antaranya diamankan tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri karena berencana menjadi pelaku bom bunuh diri.
Mobilisasi
Dalam buku Digital World War: Islamists, Extremists, and the Fight for Cyber Supremacy (2017), Haroon Ullah menuturkan, media sosial merupakan alat mobilisasi paling ampuh untuk meningkatkan kesadaran sekaligus merencanakan gerakan massa. Melalui unggahan video, gambar, atau tulisan tentang peristiwa tertentu, tulisnya, grup-grup media sosial dapat mengumpulkan sejumlah orang untuk melakukan aksi di dunia nyata.
Ullah menekankan, peristiwa Musim Semi Arab pada medio 2011 di sejumlah negara Timur Tengah merupakan contoh nyata dari efektivitas penyebaran provokasi di media sosial. Langkah itu kemudian ditiru NIIS untuk menyebarkan pengaruh radikalisme tanpa terbatas ruang dan waktu.
Khusus dalam kaitan serangan teror, pemimpin JAD, yaitu Aman Abdurrahman, telah membuktikan bahwa dari dalam penjara, ia masih bisa memberikan pengaruh kepada jaringan NIIS dengan menggunakan
tulisan-tulisan yang diunggah di media sosial. Perintah Aman, terutama untuk menyerang anggota kepolisian, menjadi dasar sejumlah jaringan JAD merencanakan aksi teror.
Data Densus 88 Antiteror Polri menunjukkan, ada peningkatan penangkapan anggota kelompok teroris dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015, tim Densus 88 Antiteror menangkap 48 orang, lalu meningkat menjadi 170 orang pada 2016, dan hingga pekan kedua Desember 2017, sebanyak 175 orang ditangkap karena terlibat aksi teror di sejumlah daerah.
Tidak hanya melakukan aksi teror di Tanah Air, propaganda di media sosial juga menyebabkan ratusan warga Indonesia menuju ke Suriah dan Filipina yang menjadi basis wilayah perang NIIS. Keinginan untuk bergabung dalam sistem kekhilafahan menjadi penyebab mereka mengajak serta keluarga ”hijrah” ke dua negara itu.
Merujuk data Satuan Tugas Pejuang Teroris Asing Densus 88 Antiteror, Maret 2017, warga Indonesia yang menuju Turki dan Suriah mencapai 594 orang. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, 465 warga Indonesia dideportasi otoritas kedua negara, sedangkan 20 orang lainnya memutuskan kembali ke Tanah Air setelah mengalami kondisi di Suriah tak serupa dengan janji NIIS di media sosial.
Tidak hanya warga Indonesia yang berada di Tanah Air, puluhan anak bangsa yang tengah berada di luar negeri juga terjangkit virus radikalisme NIIS. Menurut data Kemenlu, periode 2015-2017, terdapat 500 warga Indonesia yang ditahan otoritas kepolisian di 10 negara karena terlibat kelompok radikal.
Ke-10 negara itu ialah Turki (448 orang ditahan), Suriah (29 orang), Malaysia (7 orang), Ko- rea Selatan (6 orang), Singapura (4 orang), Jepang (2 orang), Thailand (1 orang), Brunei Darussalam (1 orang), Arab Saudi (1 orang), dan Sudan (1 orang).
Hasil survei Wahid Institute, Agustus 2017, menunjukkan, 11 juta warga Indonesia memiliki potensi menjadi radikal dan 600.000 orang pernah bertindak radikal. Meskipun jumlah itu jauh dari 250 juta populasi Indonesia, hasil survei itu tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sebab, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terdapat 132,7 juta warga Indonesia pengguna aktif internet. Selain itu, berdasarkan data yang dirilis April 2017, Facebook menyebutkan pengguna asal Indonesia telah mencapai 111 juta. Lalu, Google juga mengklaim telah memiliki 50 juta pengguna asal Indonesia.
Tidak hanya dua media sosial itu, CEO Telegram Pavel Durov juga mengungkapkan, hingga Agustus 2017, terdapat 600.000 pengguna baru Telegram, 20.000 pengguna di antaranya dari Indonesia. Telegram adalah media komunikasi yang umum digunakan jaringan NIIS karena memiliki fasilitas enkripsi.
Sebagai langkah antisipasi, BNPT telah berupaya menggandeng 500 anak muda dari sembilan kota yang memiliki pengikut besar di media sosial untuk membantu kampanye kontraradikal. Kementerian Komunikasi dan Informatika juga telah menutup ribuan situs berisi konten radikal pada 2017. Di bidang penegakan hukum, Polri juga melakukan pengawasan kelompok teroris melalui akun dan percakapan di media sosial.
Tidak hanya instansi pemerintah, tetapi organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, juga telah menggaungkan perang terhadap radikalisme melalui situs daring yang mereka kelola.
Namun, seluruh upaya itu tidak cukup dengan menghasilkan tulisan berkonten kontraradikal. Seluruh pihak perlu melakukan pendekatan secara pribadi di akar rumput yang menjadikan media sosial sebagai lingkungan sosial mereka.
Sebagai contoh, Anggi alias Khanza alias Kusuma Wardana, mantan buruh migran di Hongkong yang ditangkap tim Densus 88 Antiteror, April 2017, mendapatkan pengaruh radikal tidak hanya dari tulisan di situs atau akun media sosial, tetapi ia juga didekati langsung oleh simpatisan NIIS untuk mempertajam provokasi yang ia dapatkan. Dalam sehari Anggi berinteraksi di 30 percakapan rahasia di Telegram dan mengakses sekitar 50 kanal Telegram.
Untuk memproteksi warga dari konten radikal dan ekstremis di media sosial bukan pekerjaan mudah. Perlu usaha besar dan kerja sama antarlembaga yang berkesinambungan untuk mengatasi ketertinggalan dari jaringan NIIS yang memang ahli di ranah itu. (Muhammad Ikhsan Mahar)