Langkah ini tidak hanya membuat terpidana tindak pidana korupsi harus menjalani hukuman penjara. Regulasi itu akan menjadi payung bagi penegak hukum untuk menyita aset terpidana tindak pidana korupsi guna mengembalikan kerugian negara.
Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset masih berada di DPR. Aturan itu masuk dalam Program Legislasi Nasional jangka panjang, tetapi bukan prioritas pada 2018. Padahal, pemerintah telah menjadikan pembenahan aset hasil tindak pidana korupsi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagai salah satu Rencana Kerja Prioritas 2018.
Dalam diskusi bertajuk ”Tantangan Efektivitas Upaya Pemulihan Aset Tindak Pidana di Indonesia”, Minggu (14/1), di Jakarta, Direktur Hukum dan Regulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Prahesti Pandanwangi mengatakan, upaya pemulihan aset ini tak mudah mengingat belum ada satu aturan yang bisa menjadi pedoman dan secara rinci menjelaskan tata laksana serta mengatur kewenangan antarlembaga.
”Peraturan perundang-undangan ini penting dan bisa melandasi pelaksanaan (perampasan aset). Pembagian dan sinergitas penegak hukum perlu diupayakan sejalan dengan undang-undang yang harus segera dituntaskan karena pemulihan aset ini bukan merupakan jalan yang mudah,” kata Hesti.
Perampasan aset selama ini dilakukan oleh para penegak hukum yang menangani kasus tersebut. Akan tetapi, permasalahan muncul saat aset tersebut mesti dikelola.
Dalam undang-undang, Rumah Penyitaan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia membuat setiap lembaga penegak hukum juga ikut mengelola langsung barang bukti sitaan dalam kasus-kasus yang mereka tangani agar tetap bernilai saat dipulihkan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah ketika pengelolaan oleh setiap lembaga penegak hukum itu tidak diikuti integrasi data barang sitaan. Hesti menyampaikan, pihaknya mendorong Rupbasan Kemenkumham untuk bekerja lebih baik.
”Pada tahun 2018, Rupbasan akan memimpin penyusunan sistem terpadu yang akan digunakan para penegak hukum terkait pengelolaan aset rampasan negara. Nantinya sistem itu akan diikuti dan digunakan bersama,” ujar Hesti.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru mengatakan, RUU Perampasan Aset harus segera dituntaskan. Selama ini, korupsi terus dilakukan para pejabat negara karena tidak ada efek jera.
Kapasitas
Hukuman badan yang diterima oleh koruptor tidak sebanding dengan nilai kerugian negara yang mereka timbulkan. Apalagi para koruptor menggunakan segala cara untuk mencuci uang hasil korupsinya agar tidak mudah dilacak penegak hukum.
”Hal ini membuat para koruptor (setelah menjalani hukuman) masih bisa kembali ke politik karena modalnya masih ada,” jelas Monica.
Praktisi pelacakan aset dan pencucian uang dari Universitas Indonesia, Paku Utama, menambahkan, keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang perlu dioptimalkan oleh penegak hukum. Pengejaran aset memang tidak mudah, apalagi jika aset yang dicari tersebut berada di luar Indonesia dan bahkan menggunakan perantara jasa keuangan yang tidak terdaftar. Kapasitas penegak hukum pun penting untuk dapat memecahkan teka-teki yang dibangun koruptor dalam menyembunyikan hasil korupsinya. (IAN)