Menerka Tawaran Kerja Sama Novanto
Sejumlah pihak mempertanyakan motif mantan Ketua DPR Setya Novanto mengajukan diri sebagai ”justice collaborator”. Komisi antirasuah diminta berhati-hati menanggapi permintaan itu.
Keberadaan JC sudah ada sejak lama. Pada 1963, seorang mafia, yaitu Joe Valachi, mengingkari tradisi omerta atau hukum tutup mulut. Ia memberikan kesaksian kepada otoritas di Amerika yang kemudian menjadi awal membongkar sindikat mafia tersebut. Disusul Tommaso Buscetta yang mengungkap kerja para mafia Sisilia.
Berkat informasi yang diberikan, otoritas setempat memangkas jaringan narkotika tersebut. Namun, ada harga yang dibayar. Berbagai ancaman, baik yang ditujukan kepadanya maupun keluarga, terus terjadi setelah mereka memutuskan membantu aparat untuk membongkar kejahatan. Penegak hukum setempat pun memberikan jaminan perlindungan terhadap mereka.
Di Indonesia, istilah JC menjadi pembahasan saat perkara suap cek perjalanan diusut pada 2011. Ketika itu, Agus Tjondro, politisi PDI-P, menuturkan adanya aliran dana hingga Rp 24 miliar terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dan mau bekerja sama. Ketika itu, aturan penetapan status JC belum terlalu jelas.
Hingga akhirnya keluar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 yang memuat pedoman untuk menentukan seseorang layak menjadi JC.
Aturan itu diikuti dengan terbitnya Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, serta Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama.
Mengacu pada dua aturan tersebut, syarat seseorang dikabulkan sebagai JC adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana, mengakui kejahatan, bukan pelaku utama, dan bersedia memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan serta mampu mengungkap peran pihak lain.
Dengan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum, seseorang akan mendapat perlindungan hukum. Ia juga berkesempatan mendapatkan keringanan hukuman. Bagi pelaku tindak pidana khusus, seperti korupsi dan narkotika, menjadi JC juga bisa membantu narapidana memperoleh remisi/pengurangan hukuman sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Hati-hati
Menyandang status JC, karena itu, menjadi tak mudah. Sepanjang 2015-2016, KPK mencatat ada 48 tersangka korupsi yang mengajukan diri sebagai JC. Namun, dari jumlah tersebut, baru 11 orang yang diterima, 26 orang ditolak, dan sisanya diproses saat itu dengan menunggu konsistensi selama persidangan berjalan.
Dalam acara talk show Satu Meja bertajuk ”Justice Collaborator: Siapa yang Disasar Setnov?” yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, di Kompas TV, Senin (15/1), Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, diberikannya status tersebut tidak hanya berasal dari penegak hukum, tapi juga menjadi kewenangan hakim.
”Syarat pertama, harus menyadari betul untuk mengakui perbuatannya. Selain itu, bersedia membuka peran pihak lain. JC juga secara konsisten memberikan keterangan sebenar-benarnya, bukan setengah-setengah. Jangan sampai sekarang bicara A, besok bicara B, besok menarik ucapannya, dan besok berbeda lagi. Konsistensi itu yang akan dilihat dari proses yang sedang berjalan. Hakim pun akan menguji lagi apakah dia berbelit-belit,” ujar Febri.
Kuasa hukum Novanto, Firman Wijaya, justru memberikan pernyataan kontradiktif. Upaya untuk mengungkap pihak lain memang mungkin dilakukan mengingat proyek pengadaan KTP-el melibatkan struktur yang sangat besar di sisi perencanaan dan penganggaran.
”Yang harus dijaga, pilihan seseorang menjadi JC. Itu bukan pilihan mudah, budaya mau bekerja sama. Tidak boleh mengakui dirinya salah, kalau belum ada pembuktian. Kan, membela diri itu hak,” tutur Firman.
Sementara itu, pengamat politik Yunarto Wijaya meminta KPK berhati-hati dalam memberikan status JC kepada Novanto. Sebab, motif JC oleh Novanto masih menjadi tanda tanya. Langkah Novanto sendiri sukar dilepaskan dari panggung politik. Alih-alih berupaya mengungkap kasus megaproyek ini, Novanto dikhawatirkan menggunakan status itu untuk menyandera lawan politiknya.
”Sulit menerima kenyataan SN sebagai orang yang bisa dipercaya untuk masuk ke ruang terang benderang ini,” kata Yunarto.
Pendapat senada disampaikan budayawan Radhar Panca Dahana. Tindakan Novanto dipandang sebagai dampak dari ketakutan akan kehilangan semua yang telah dicapainya selama ini dan keinginan untuk menjatuhkan orang lain yang dianggapnya turut berperan. ”Alasan pragmatis dan oportunis saja,” ujarnya.
Belum jelas ada apa di balik niat Novanto bekerja sama. Namun, informasi yang dimilikinya tentu berguna bagi kelanjutan perkara yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini.
(Riana A Ibrahim)