DPR dan pemerintah ingin mengimplementasikan Konvensi PBB tentang Antikorupsi tahun 2003 yang telah diratifikasi pada 2006. Menjerat pelaku praktik korupsi swasta akan membantu upaya serupa di sektor publik.
JAKARTA, KOMPAS - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah akan memperluas wilayah tindak pidana korupsi. Baik DPR maupun pemerintah menyepakati masuknya pengaturan tentang korupsi di sektor swasta dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Tidak hanya menjerat korupsi yang merugikan keuangan negara, korupsi di sektor swasta kini juga bisa disasar. Artinya, praktik korupsi di sektor swasta pun bisa dikenai sanksi hukum.
Hal tersebut diputuskan dalam rapat konsinyering Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) DPR di Jakarta, Rabu lalu. Pemerintah dan DPR sepakat memasukkan pasal tentang penyuapan sektor swasta mengacu pada Pasal 21 Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC tahun 2003.
DPR dan pemerintah sepakat bahwa setiap orang yang menjanjikan, menawarkan, atau memberikan keuntungan yang tidak sah kepada seseorang yang bekerja di sektor swasta dengan maksud memengaruhi agar orang tersebut melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dapat dikenai pidana penjara atau pidana alternatif lainnya. Pidana yang sama berlaku pada pihak yang menerimanya.
Anggota Panja RKUHP DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, di Jakarta, Kamis (18/1), mengatakan, keputusan tersebut diambil agar pemberantasan korupsi lebih efektif. Menurut dia, menjerat pelaku praktik korupsi di sektor swasta juga akan membantu penegakan hukum terkait korupsi di sektor publik.
Dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pihak swasta menjadi oknum yang paling banyak ditindak oleh lembaga antirasuah. Sepanjang 2004-2017, ada 183 orang dari sektor swasta yang ditangkap KPK karena terlibat suap serta korupsi dengan lembaga eksekutif dan legislatif.
Tugas penindakan
Pasal tentang korupsi sektor swasta diusulkan sejumlah fraksi DPR berdasarkan masukan masyarakat. Menurut rencana, tugas pokok dan fungsi penindakan korupsi swasta diserahkan kepada Kepolisian Negara RI (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung), bukan KPK.
Hal itu karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebut bahwa KPK fokus pada korupsi penyelenggara negara. ”Lagi pula, tidak mungkin merevisi Undang-Undang KPK di tahun politik seperti sekarang. Bisa gaduh,” kata Arsul.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mendukung penindakan korupsi di sektor swasta diatur dalam KUHP. Indonesia memiliki kewajiban mengimplementasikannya seperti yang diatur UNCAC. Terlebih lagi, perilaku koruptif banyak terjadi di sektor swasta dan berdampak buruk pada perekonomian.
”Jika korupsi swasta terus dibiarkan, korupsi secara umum terus tumbuh subur. Bahkan, dapat mengganggu kondisi perekonomian dan tidak baik untuk iklim bisnis di dalam negeri karena mereka pelaku usaha,” kata Agustinus.
Secara terpisah, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, penanganan korupsi swasta mendesak diatur. KPK sudah pernah mengusulkan agar korupsi sektor swasta dimasukkan ke Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Agus meminta agar dalam revisi KUHP korupsi swasta dirinci ke aturan yang lebih spesifik.
Sementara itu, Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan, pihaknya siap menjalankan amanah undang-undang. Apalagi, Kejagung selama ini sudah menangani kasus korupsi yang melibatkan swasta. (AGE/IAN)