Korupsi tak lagi dilakukan dengan mencuri uang negara secara faktual, tetapi juga menggunakan modus-modus baru dalam transaksi keuangan yang canggih. Penegak hukum perlu mengantisipasi hal ini.
JAKARTA, KOMPASBerkembangnya modus korupsi yang dilakukan koruptor harus diantisipasi penegak hukum. Perkembangan teknologi dan globalisasi menjadi salah satu pemicu terus tumbuhnya sarana-sarana baru dalam menyimpan aset ataupun menyembunyikan harta hasil kejahatan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/1), menyatakan memahami perkembangan modus korupsi yang semakin canggih. Untuk itu, peningkatan kemampuan penegak hukum menjadi hal penting yang dilakukan. Terlebih lagi, kerja sama internasional terus dijalin agar dapat memonitor transaksi lintas negara yang mencurigakan.
Modus-modus yang tidak konvensional, antara lain terlihat dari yang dilakukan Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi yang menyamarkan suap melalui donatur dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk sebuah klub sepak bola. Ada pula penggunaan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) dengan nama fiktif. Uang tak lagi diberikan tunai. Ini terungkap dalam dugaan suap terhadap Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono. Yang terbaru tampak pada korupsi pengadaan KTP elektronik yang memakai transaksi lintas negara dengan kombinasi layanan money changer.
Ikuti perkembangan
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, mengatakan, penegak hukum idealnya mengikuti perkembangan cara berpikir orang dalam menyimpan aset atau kekayaannya. Dalam teknologi internet, misalnya, orang bisa menyimpan harta dalam bentuk mata uang virtual seperti bitcoin. Tidak tertutup kemungkinan di masa depan akan ditemui upaya korupsi dengan menyembunyikan atau mencuci harta melalui mata uang virtual yang sebelumnya belum pernah dikenal.
Menurut Hifdzil, hukum cenderung statis, tetapi penafsirannya bisa berkembang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Korupsi, misalnya, kini tak bisa lagi dimaknai sebagai semata-mata tindakan mengambil atau menghilangkan uang negara dalam APBN secara faktual, semisal dengan pemberian tunai, atau berupa tanah, mobil, dan harta yang kasatmata. Sebab, kini modus korupsi bisa sangat berkembang.
”Bisa saja uang yang dicuri tidak dalam bentuk tunai atau harta faktual lainnya, tetapi dalam bentuk rekening atau mata uang virtual yang kini tengah berkembang. Substansinya sama saja, yakni merugikan keuangan negara. Akan tetapi, modusnya tidak lagi tradisional atau dengan cara-cara biasa,” kata Hifdzil.
Oleh karena itu, lembaga penegak hukum dan negara semestinya memberikan perhatian lebih pada peningkatan kompetensi penyidik korupsi, selain juga meningkatkan jumlah mereka guna mengantisipasi semakin canggihnya modus korupsi.
Penyidik korupsi didorong untuk mengikuti perkembangan terbaru sarana penyimpanan aset dan kekayaan, tidak terbatas pada bentuk tunai dan tabungan, tetapi juga saham, valuta asing, dan mata uang virtual.
Anggapan yang selama ini berkembang bahwa pelaku kejahatan lebih cerdik daripada penegak hukum, menurut dia, bisa dibantah. Sebab, penegak punya kekuatan mengantisipasinya dengan mempelajari pola dan cara pikir mereka sesuai dengan perkembangan di masyarakat.
Terkait dengan upaya meningkatkan kapasitas penegak hukum, Febri mengatakan, KPK juga memfasilitasi pelatihan bersama aparat penegak hukum melalui tugas koordinasi supervisi penindakan. Pelatihan itu juga diperuntukkan bagi jaksa dan polisi. Hingga saat ini ada sekitar 1.399 jaksa dan 1.533 anggota kepolisian yang mengikuti pelatihan. (REK/IAN)