Citra yang Terus Direproduksi
Penampilan necis para terdakwa perkara korupsi tidak hanya untuk menunjukkan wibawa mereka. Hal itu juga menjadi sarana untuk mengomunikasikan kepada masyarakat bahwa terdakwa masih dapat dipercaya.
Satu hal yang membedakan persidangan perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dengan persidangan tindak pidana lain di pengadilan negeri adalah penampilan para terdakwa.
Dalam persidangan di pengadilan negeri, para terdakwa, seperti pencuri sepeda motor atau penjambret, umumnya mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam yang sederhana, bahkan beberapa di antaranya terkesan seadanya. Sementara para terdakwa perkara korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) umumnya berkemeja batik dan sisiran rambut yang rapi.
Kendati korupsi telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa, para terdakwa yang diadili di pengadilan tipikor terus berupaya membangun citra sebagai orang yang baik, terhormat, teraniaya, dan tidak bersalah.
Hal ini, misalnya, terlihat dalam persidangan perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) dengan terdakwa mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Novanto, yang didakwa menerima aliran dana korupsi pengadaan KTP-el hingga 7,8 juta dollar AS atau jika menurut kurs saat ini sekitar Rp 101,4 miliar, belakangan selalu memakai baju batik halus saat persidangan. Rambutnya pun selalu disisir rapi. Senyum juga sesekali terlihat menghias wajahnya.
Kondisi ini jauh berbeda saat pertama kali Novanto diadili pada 13 Desember 2017. Saat itu, Novanto menunjukkan wajah yang lemah seperti seorang yang sedang sakit. Untuk meyakinkan majelis hakim, dia menunjukkan dirinya tak mampu menjawab pertanyaan hakim dengan hanya mengeluarkan suara yang lirih.
Penampilan Novanto mulai berubah di persidangan berikutnya. Memasuki persidangan kedua, saat tim penasihat hukumnya menyampaikan eksepsi, penampilan Novanto berangsur sama dengan ketika ia menjadi wakil rakyat, pimpinan partai politik, dan memimpin DPR. Pada persidangan ketujuh, Senin (22/1), Novanto mengenakan kemeja dari batik halus berwarna coklat.
Sebagian terdakwa koruptor tak hanya berpenampilan necis dalam persidangan. Sebagian dari mereka juga setia didukung oleh keluarga dan kolega yang hadir dalam persidangan.
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, dan auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan, Rochmadi Saptogiri, menjadi sebagian dari terdakwa yang memperoleh dukungan hangat dari keluarga dan koleganya. Setiap kali persidangan usai, tangan keduanya kerap dicium oleh keluarga sebagai wujud hormat.
Perwujudan simbolik
Celia Lury, ahli studi budaya, dalam bukunya, Budaya Konsumen, menuliskan, benda-benda itu mempunyai kehidupan.
Setiap benda yang dikenakan manusia memiliki bobot dan otoritas sehingga benda-benda tersebut hidup layaknya manusia yang memiliki kekuatan. Dengan bobot dan otoritasnya, benda yang dikenakan manusia pun dapat memberikan penampilan, pengaruh, kesenangan, atau bahkan mencabut kewajiban.
Secara budaya, menurut Celia, setiap atribut dan pakaian yang dikenakan pun menjadi perwujudan simbolik dari kelompok sosial. Barang-barang yang dikenakan pun secara simultan menjadi sarana mengomunikasikan hierarki sosial pemakainya.
Dalam teori komunikasi, menurut pengajar Program Pascasarjana Kajian ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, setiap orang memiliki kebutuhan sikap dan penampilan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Jika seseorang tampil dengan penampilan yang berbeda, itu pun sangat terkait dengan kebutuhan orang tersebut untuk kepentingan membangun citra diri.
Perubahan sikap pun, lanjut Bambang, terkait dengan kebutuhan seseorang dalam mengomunikasikan kebutuhannya. ”Ada kebutuhan membangun sikap dan penampilan sesuai dengan kebutuhan diri dan kondisi sosialnya,” kata Bambang.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sejumlah koruptor sering kali terlihat seperti ”tidak memijak tanah” saat menampilkan citra dirinya kepada publik. Tak sedikit dari mereka menampilkan pribadi yang baik dan terhormat lewat busana yang dikenakan. Citra diri yang baik lewat penampilan pun terus direproduksi para terdakwa perkara tipikor di persidangan.
Penampilan yang baik dari para terdakwa perkara korupsi, lanjut Bambang, tidak hanya untuk menunjukkan wibawa mereka, tetapi juga menjadi sarana untuk mengomunikasikan kepada masyarakat bahwa terdakwa masih dapat dipercaya.
Akhirnya, alih-alih introspeksi diri sebagai terdakwa perkara korupsi yang perbuatannya telah menyengsarakan kehidupan masyarakat, tak sedikit dari mereka itu malah menempatkan dirinya sebagai korban. Proses hukum perkara korupsi yang mereka jalani lebih banyak dilihat sebagai musibah dan cobaan hidup. Inilah salah satu ironi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
(Madina Nusrat)