JAKARTA, KOMPAS Dewan Perwakilan Rakyat tengah mengkaji ulang rencana memasukkan korupsi di sektor swasta ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Langkah itu dilakukan karena aturan tersebut telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/1), anggota Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Panja RKUHP) dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menyatakan, DPR dengan pemerintah belum menyepakati untuk memasukkan pasal terkait korupsi di sektor swasta ke dalam RKUHP. Sebab, semua fraksi dalam tim perumus Panja RKUHP masih perlu mendalami aturan itu.
Menurut Arsul, korupsi di sektor swasta merupakan isu baru dalam konteks legislasi. Oleh karena itu, ujarnya, untuk membuat rumusan dari terjemahan Pasal 21 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi (UNCAC) bukan pekerjaan mudah.
”Belum apa-apa sudah ada kekhawatiran dari para pengusaha sehingga kami akan mengkaji kembali melalui Undang-Undang Tindak Pidana Suap. Korupsi dan penyuapan di sektor swasta sudah ada di UU itu,” ujar Arsul.
Seperti diketahui, berdasarkan hasil rapat konsinyering Panja RKUHP, pekan lalu, DPR dan pemerintah mempertimbangkan untuk memidanakan setiap orang yang menawarkan, menjanjikan, dan memberikan keuntungan yang tidak sah kepada seseorang yang mengurus badan di sektor swasta yang bertujuan agar melanggar tugas-tugasnya. Aturan tersebut telah dicatat dalam daftar inventaris masalah RKUHP yang akan dibahas kembali pada pertemuan antara pemerintah dan DPR paling lambat awal Februari.
Tak perlu diatur
Secara terpisah, anggota Panja RKUHP dari Fraksi PDI-P, Ichsan Soelistyo, justru beranggapan, korupsi di sektor swasta tidak perlu diatur dalam RKUHP. Menurut dia, penegak hukum tidak perlu turun tangan mengatasi korupsi di swasta, kecuali ada pihak yang merasa dirugikan dan mengadukannya kepada lembaga penegak hukum.
Korupsi di sektor swasta, ujarnya, sebaiknya tetap menjadi pidana umum berupa penyuapan sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Suap serta dikategorikan sebagai delik aduan.
”Katakanlah ada proyek di perusahaan saya, lalu manajer saya mark up. Kalau saya tidak merasa dirugikan dan tidak mengadukan, kan, diam-diam saja. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), polisi, dan jaksa tidak bisa masuk,” kata Ichsan.
Meskipun korupsi di sektor swasta merupakan hasil konvensi UNCAC pada tahun 2003, Ichsan mengatakan, konteksnya tidak bisa diterapkan di Indonesia tanpa penyesuaian. ”Beda konteks, tidak bisa diterjemahkan dengan sederhana,” ujarnya.
Pandangan KPK
Atas dasar itu, Arsul memastikan, Panja RKUHP masih akan mendengar dan menerima masukan dari berbagai pihak, di antaranya KPK. Pandangan dari KPK terkait korupsi di sektor swasta diharapkan bisa disampaikan ketika lembaga antirasuah itu melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, pekan depan.
Anggota Panja RKUHP dari Partai Nasdem, Taufiqulhadi, menilai, DPR sebagai pembuat UU menganggap semakin banyak aparat penegak hukum yang terlibat, termasuk KPK, semakin baik. Akan tetapi, ia menekankan, keterlibatan KPK dalam korupsi di sektor swasta akan berdampak pada keharusan merevisi UU No 30/2002 tentang KPK.
Konsekuensi itu berlaku karena dalam UU KPK, kewenangan penanganan kasus oleh KPK terbatas pada korupsi yang dilakukan penyelenggara negara. ”Kalau KPK ingin terlibat, mereka harus konsisten merevisi UU KPK. Sekarang bola ada di KPK,” katanya. (SAN/AGE)