SLEMAN, KOMPAS — Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang juga anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, Ahmad Syafii Maarif, memandang generasi muda bangsa tengah mengalami fase transisi yang cukup rumit.
Dalam pidato kebudayaan di Sanggar Maos Tradisi, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (26/1) malam, Syafii menyatakan, globalisasi merupakan keniscayaan. Namun, globalisasi telah menawarkan tatanan nilai baru kepada generasi penerus bangsa. Padahal, mayoritas dari mereka belum menghayati secara utuh nilai dan norma yang ditanamkan para pendiri bangsa.
”Akibatnya, timbul penafsiran yang keliru. Terjadi kerentanan dalam kepribadian generasi muda bangsa. Mereka menjadi pragmatis dan kehilangan idealisme sebagai anak bangsa,” ujarnya.
Sebagian masyarakat yang punya tanggung jawab turut membangun negara tengah menikmati liberalisasi dan gaya hidup kosmopolitan. Sebagian lagi, lanjutnya, terlena pada perilaku koruptif menguras kekayaan negara untuk kepentingan golongan.
Pemerintah sesungguhnya telah mencanangkan program revolusi mental untuk merevitalisasi nilai-nilai kebangsaan. Namun, tanpa sokongan struktur dan instrumen yang tepat, aktualisasi revolusi mental hanya menjadi sebatas jargon dan slogan di tengah masyarakat.
Hal serupa juga terjadi pada implementasi program reformasi birokrasi. Praktik KKN, kata Syafii, masih kerap terjadi dalam institusi-institusi negara.
”Kelemahan bangsa kita adalah pecah kongsi antara kata dan laku. Kita hanya kuat dalam melakukan perumusan, tetapi lemah dalam implementasi. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 adalah visi yang luar biasa, tetapi hingga saat ini pelaksanaannya masih kedodoran,” ujar Syafii.
Pengajar Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menilai, di antara spektrum perubahan tatanan sosial masyarakat Indonesia terdapat tiga masalah pokok yang mendesak untuk dipecahkan. Ketiga masalah itu adalah kemiskinan, ketimpangan, serta menguatnya sentimen identitas kelompok.
”Ada gejala yang harus direspons, terutama menyangkut soal pengelompokan masyarakat berdasarkan identitas. Padahal, kita punya sejarah panjang yang menggambarkan Indonesia lahir dari spektrum yang beragam dan majemuk,” kata Arie. (DIM)