Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri, pengembalian uang hasil korupsi sudah terjadi. Langkah ini terkadang menjadi pintu masuk bagi KPK dalam membongkar perkara korupsi. Hal ini terjadi, misalnya, ketika 13 anggota DPRD Tanggamus, Lampung, mengembalikan uang pada 2016. Kasus ini akhirnya berujung pada penetapan tersangka Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan dalam perkara korupsi pengesahan APBD Tanggamus tahun 2016.
”KPK sangat menghargai jika ada pihak-pihak yang mengembalikan uang suap atau kerugian negara. Hal tersebut dapat menjadi faktor yang meringankan. Tentu ada jaminan lain, seperti perlindungan sesuai dengan kapasitasnya ketika beritikad baik menyerahkan uang tersebut,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (29/1).
Menurut dia, tidak semua pihak yang mengembalikan uang mengakui bahwa yang mereka terima merupakan suap, gratifikasi, atau hasil korupsi. Bahkan, ada yang sekadar mengembalikan uang tanpa bersedia berbagi informasi. Salah satunya, mantan anggota DPR, Jafar Hafsah, terkait perkara dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Ia mengaku tidak mengetahui uang yang disebut berasal dari M Nazaruddin tersebut berkaitan dengan pengadaan KTP-el.
Begitu juga dengan Direktur Jalan Bebas Hambatan Direktorat Jenderal Bina Marga Subagyo yang membantah menerima uang dari Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Provinsi Maluku dan Maluku Utara (Malut) Amran HI Mustary saat bersaksi di persidangan. Akan tetapi, ia mengembalikan uang 7.000 dollar Amerika Serikat ke KPK.
Dalam hal ini, keduanya tidak dijerat tindak pidana. Namun, banyak juga pihak yang mengembalikan uang tetap berhadapan dengan proses hukum.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Aradilla Caesar, menyatakan, mengacu pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengembalian uang tidak menghapus pidana. ”Memang sering kali ada dilema. Daripada saya kembalikan tetap di penjara, mending uangnya tetap saya nikmati. Ini harus menjadi catatan bagi pemerintah sehingga perlu diatur lagi revisi UU Pemberantasan Tipikor agar pihak-pihak tersebut bersedia kooperatif. (IAN)