JAKARTA, KOMPAS — Dijatuhkannya sanksi etik ringan untuk kedua kali kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat secara langsung mencederai marwah, kehormatan, dan kredibilitas lembaga. Sebagai negarawan yang dipercayai mengawal kewenangan MK bagi tegaknya fondasi konstitusi negeri ini, Arief diharapkan merespons dengan legawa permintaan mundur yang disampaikan sejumlah elemen publik.
Desakan mundur terhadap Arief pasca-penjatuhan sanksi etik diumumkan oleh Dewan Etik MK, 16 Januari lalu, terus menguat. Tindakannya bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, 23 Oktober 2017, menjelang pemilihannya kembali sebagai hakim konstitusi dinilai telah membuktikan terjadinya demoralisasi di tubuh lembaga. Demoralisasi MK itu terjadi bertahap dan berulang karena minimnya pengawasan serta rendahnya kesadaran moralitas para hakim.
Publik belum melupakan penangkapan mantan Ketua MK Akil Mochtar pada 2013 dan mantan hakim konstitusi, Patrialis Akbar, pada 2017 terkait suap.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas, Selasa (30/1), di Jakarta, mengatakan, peristiwa yang berulang itu seharusnya cukup dan dijadikan pembelajaran bagi MK dan para hakimnya. Sanksi etik ringan yang diterima Arief sampai dua kali menambah goyah kepercayaan publik kepada lembaga tersebut.
Sanksi etik ringan yang diterima Arief sampai dua kali menambah goyah kepercayaan publik kepada lembaga tersebut.
Cabut uji materi
Sebagai buntut dari kasus pertemuan Arief dengan pimpinan Komisi III DPR itu, Busyro bersama Indonesia Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan elemen masyarakat sipil lain mencabut permohonan uji materi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait dengan hak angket DPR kepada KPK.
"Mau dibilang apa lagi. Ini tragedi demoralisasi MK. Seharusnya tidak bisa ditoleransi lagi. Sekali saja sudah cukup, kok ini sampai tiga kali," ujarnya.
Mau dibilang apa lagi. Ini tragedi demoralisasi MK. Seharusnya tidak bisa ditoleransi lagi.
Menurut Busyro, dengan mendengar aspirasi publik, kemudian menyatakan mundur dari MK, Arief akan menyelamatkan tidak hanya kredibilitas lembaga, tetapi juga kehormatan dirinya. Busyro pun mencontohkan mantan hakim konstitusi, Arsyad Sanusi, yang mundur pada 2010 lantaran anaknya diduga bertemu dengan pihak yang berperkara.
Pada tahun politik, MK akan menghadapi tugas berat terkait sengketa pilkada dan pemilu. Terkait dengan hal itu, marwah lembaga harus ditegakkan dan kepercayaan publik harus dijaga. Legitimasi putusan MK mendapat tantangan berat manakala krisis moral dan etik masih terjadi di internal MK.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menambahkan, apabila Arief mundur, hal tersebut bukan terkait dengan persoalan kalah atau menang. Hal itu harus dipandang sebagai upaya penyelamatan kredibilitas lembaga. "Etik adalah sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan. Dengan penjatuhan sanksi etik ini, saya ingin melihat Pak Arief merespons dengan melihat dirinya juga sebagai bagian dari MK, yang ingin menjaga marwah dan kehormatan lembaga," tutur Bivitri.
Dihubungi terpisah, Arief Hidayat menolak berkomentar mengenai desakan itu. (REK)