JAKARTA, KOMPAS — Dewan Etik Mahkamah Konstitusi memproses laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ketua MK Arief Hidayat karena dinilai mengucapkan suatu pernyataan yang tidak benar di media massa. Jika dalam laporan kali ini Arief kembali terbukti melanggar etik, menurut ketentuan, Dewan Etik bisa mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Anggota Dewan Etik MK, Salahuddin Wahid, Kamis (1/2), di Jakarta, mengatakan, pihaknya telah menerima laporan dugaan pelanggaran etik Arief yang disampaikan peneliti MK, Abdul Ghoffar. ”Minggu depan laporan itu akan kami tindak lanjuti,” ucapnya.
Arief telah menerima dua sanksi etik kategori ringan dari Dewan Etik MK berupa teguran lisan. Sanksi pertama diberikan pada 2016 ketika Arief terbukti memberikan katebelece terkait seorang jaksa muda dari Jawa Timur, Zainur Rohman, ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) saat itu, Widyo Pramono. Sanksi kedua diberikan karena bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR tanpa undangan resmi di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, 23 Oktober 2017, terkait pencalonan dirinya kembali sebagai hakim konstitusi.
Arief telah menerima dua sanksi etik kategori ringan dari Dewan Etik MK berupa teguran lisan.
”Apabila sampai tiga kali terkena pelanggaran etik ringan, itu secara otomatis bisa dikategorikan sebagai pelanggaran etik berat. Dewan Etik bisa mengusulkan untuk membentuk Majelis Kehormatan MK seperti dulu pernah dibentuk saat menangani kasus Akil Mochtar (mantan Ketua MK) dan Patrialis Akbar (mantan hakim konstitusi)” kata Abdul Mukhtie Fajar, mantan Ketua Dewan Etik MK.
Belajar dari pengalaman hakim konstitusi Arsyad Sanusi yang mundur dari MK karena anaknya bertemu dengan pihak beperkara, menurut Mukhtie, hal itu menunjukkan kesadaran etik yang tinggi. Sikap serupa seharusnya juga bisa dicontohkan oleh Arief yang telah diberi sanksi etik dua kali. ”Saya sarankan sebaiknya tidak perlu menunggu sanksi etik ketiga,” katanya.
Menurut Mukhtie, Dewan Etik harus bersikap tegas dan berani dalam menindak pelanggaran etik hakim-hakim konstitusi. Konsekuensi menjadi anggota Dewan Etik ialah menghadapi resistensi dari hakim karena umumnya enggan diawasi.
Hakim konstitusi lainnya juga diharapkan untuk tegas dan berani menyikapi pelanggaran etik koleganya. Mukhtie mengingatkan bahwa sifat pengambilan keputusan di antara hakim MK adalah kolektif kolegial. Artinya, posisi Arief sebagai Ketua MK bukanlah pimpinan hakim konstitusi lainnya.
Dibebastugaskan
Abdul Ghoffar dibebastugaskan sementara dari pekerjaannya sebagai peneliti di MK. Ghoffar pun tidak akan diikutkan dalam rapat kerja MK di Bogor, Jawa Barat. ”Hal itu dilakukan untuk kepentingan pembinaan, klarifikasi, serta penegakan kode etik pegawai MK dan peraturan disiplin PNS,” ujar Fajar Laksono Soeroso, juru bicara MK.
Menurut Fajar, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK merupakan institusi birokrasi negara yang memiliki sistem dan pranata dalam mengelola sumber daya aparaturnya. Ghoffar dinilai telah melanggar kode etik pegawai dan peraturan disiplin PNS. ”Laporan yang bersangkutan (Ghoffar) di Dewan Etik silakan berjalan sesuai mekanisme yang ada, begitu juga terhadap diri yang bersangkutan. Mekanisme atas konsekuensi sikap dan perilakunya dalam kedudukan sebagai PNS juga harus dibiarkan berjalan sesuai koridornya,” katanya. (REK)