JAKARTA, KOMPAS Selaku pengguna anggaran, Gamawan Fauzi yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri saat pengadaan kartu tanda penduduk elektronik berlangsung semestinya mengetahui permasalahan yang muncul sejak lelang berlangsung. Gamawan dapat dianggap bersalah jika tidak peduli dan membiarkan proyek berlanjut.
Soal kedudukan dan fungsi Mendagri dalam proyek KTP-el itu disampaikan Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta, yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan korupsi pengadaan KTP-el dengan terdakwa mantan Ketua DPR Setya Novanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (1/2).
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang diubah dalam Perpres No 4/2015, menurut Setya, kewenangan menyetujui pemenang lelang untuk proyek pengadaan barang dan jasa di atas Rp 100 miliar berada di menteri. Oleh karena itu, pengadaan KTP-el yang memakan biaya hingga Rp 5,9 triliun pun harus melalui persetujuan menteri.
Saat Gamawan menetapkan Konsorsium Percetakan Negara RI sebagai pemenang lelang pengadaan KTP-el, lanjut Setya, proses lelang tengah berada pada masa sanggah banding. Sesuai perpres, proses lelang harus dihentikan saat sanggah banding berlangsung.
”Karena dia PA (pengguna anggaran), kalau dia menganggap dirinya tak tahu (proses lelang yang terjadi), dia salah. Yang jawab sanggah banding adalah menteri. Jadi, aneh kalau menteri tak tahu. Kan, dia yang menjawab sanggah. Ini jadi tak logis,” ujar Setya menjelaskan.
Setya mengungkapkan, Kemendagri telah meminta LKPP untuk menjadi pendamping dalam lelang pengadaan KTP-el. Dari hasil pendampingan, LKPP menemukan sejumlah permasalahan sejak proses awal hingga penetapan pemenang lelang.
Tak konsisten
Saat lelang dimulai, ditemukan dokumen yang diajukan menggunakan sistem e-procurement, lelang berlangsung dalam jaringan. Namun, sistem e-procurement itu hanya dilaksanakan hingga tahap penawaran, yakni April 2010. Setelah itu, lelang dilakukan secara manual. Selain itu, dari dokumen lelang juga ditemukan bahwa jumlah pekerjaan yang dicantumkan hanya lima. Padahal, ada sembilan pekerjaan di pengadaan KTP-el.
Selain tak konsisten dalam penerapan sistem lelang, Setya menyampaikan, kriteria penilaian yang dimuat dalam dokumen lelang juga banyak yang kualitatif. Akibatnya, penilaiannya menjadi sangat subyektif. ”Kami sudah meminta agar kriteria penilaian yang digunakan itu diperbaiki, tetapi tetap tak diperbaiki (Kemendagri),” katanya.
LKPP, lanjutnya, juga telah menyarankan agar pengadaan KTP-el dibagi menjadi sembilan paket pekerjaan karena proyek pengadaan itu lumayan besar dan tak mungkin dilaksanakan satu konsorsium perusahaan. Pertimbangan lain, pekerjaannya juga tak hanya teknis, tetapi juga ada pendampingan yang tak cukup memadai dilaksanakan oleh perusahaan penyedia barang.
”Kami telah memberikan saran untuk membagi pekerjaan menjadi sembilan paket, tetapi itu tak diterima (Kemendagri) karena seluruh pekerjaan itu dianggap satu kesatuan. Padahal, dengan membagi pekerjaan, akan menjadi lebih memudahkan dan lebih kompetitif,” tuturnya.
Karena ditemukan banyak permasalahan pada dokumen dan proses lelang, menurut Setya, LKPP pun menyarankan agar Kemendagri membatalkan lelang pengadaan KTP-el. Namun, Gamawan malah menyampaikan protes ke LKPP karena menganggap pendampingan LKPP hanya menghambat pengadaan KTP-el.
”Kami disurati dan dimarahi Mendagri bahwa sistem LKPP itu payah. Saya pun jelaskan, lha wong elo (kamu saja) enggak upload selanjutnya, kok,” katanya.
Sesuai perpres, lelang yang dilakukan e-procurement harus dilaksanakan dalam jaringan. Jika prosesnya kemudian dilakukan secara manual, lelang itu gagal. Karena memberikan rekomendasi yang demikian, kata Setya, LKPP dilaporkan ke Presiden telah menghambat pengadaan KTP-el. LKPP pun dipanggil Deputi Wakil Presiden Sofyan Djalil.
Menurut Setya, setelah mengikuti pemaparan LKPP, Sofyan pun mengakui pembagian pekerjaan menjadi sembilan paket itu sudah benar. Namun, hasil sidang yang dipimpin Sofyan memutuskan agar pengadaan KTP-el tetap dilanjutkan.
”Sejak itu, LKPP mundur sebagai pendamping (pengadaan KTP elektronik),” ujarnya.
Setelah mendengar penjelasan Setya, ketua majelis hakim, Yanto, lantas membandingkan keterangan Setya dengan pengakuan Gamawan di sidang sebelumnya. Menurut Yanto, dalam persidangan pada Senin (29/1), Gamawan mengaku tak tahu-menahu terkait lelang pengadaan KTP-el. Sementara dari kesaksian Setya, lanjut Yanto, terbukti Gamawan telah diberi tahu LKPP ada sejumlah permasalahan dalam lelang tersebut. (MDN)