JAKARTA, KOMPAS — Upaya membentuk wilayah otonomi khusus dan mengakhiri konflik di Mindanao memasuki tahap akhir. Front Pembebasan Islam Moro atau MILF pun belajar dari pengalaman Indonesia menyelesaikan konflik yang pernah berkepanjangan di Aceh, selain juga di Papua.
Pimpinan MILF Murad Ebrahem bersama sepuluh elite MILF menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis (1/2). Hadir dalam pertemuan itu, Duta Besar Filipina untuk Indonesia Maria Lumen Isleta dan beberapa perwakilan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
Dalam pertemuan yang berlangsung hampir satu jam tersebut, Murad menyampaikan perkembangan negosiasi dengan Pemerintah Filipina. Selain itu, disampaikan pula harapan untuk belajar dari pengalaman Indonesia menangani konflik di Aceh dan Papua. ”Kami tahu bahwa Indonesia sangat berpengalaman menciptakan perdamaian dan sangat sukses,” kata Murad seusai pertemuan.
Sebelumnya, para elite MILF juga berkunjung ke Aceh. Dalam kunjungan tersebut, mereka mempelajari proses perdamaian di Aceh serta proses pemulihan yang dilalui setelah terjadinya tsunami sejak 13 tahun lalu. Selain mempelajari cara mencapai perdamaian, para elite MILF ini juga akan bekerja sama dalam sejumlah aspek, seperti pendidikan dan cara mengatasi kelompok ekstrem dan radikal.
Para elite MILF juga melakukan pertemuan dengan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haythar, di Kompleks Meuligoe Wali Nanggroe, Jalan Soekarno-Hatta, di kawasan Lampeuneurut, Aceh Besar. Pimpinan dan beberapa anggota MILF juga dijamu Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah MT di Pendapa Wagub di Banda Aceh.
Murad mengatakan, radikalisme menjadi masalah bagi setiap orang saat ini. Namun, dengan saling membantu dan bekerja sama, masalah ini diyakini bisa diatasi bersama.
Seusai kunjungan, Wapres Kalla dan para elite MILF berfoto bersama. Menurut Kalla, dalam pengalaman Indonesia, perdamaian berarti saling menghormati dan saling menjaga martabat satu sama lain. Selain itu, diperlukan kompromi bersama.
Upaya mendorong perdamaian di wilayah Filipina selatan ini sudah dimulai sejak 1980-an. Saat itu, Presiden Filipina Ferdinand Marcos meminta bantuan Presiden Soeharto untuk menjadi mediator. Pada 1996, perjanjian damai itu bisa ditandatangani. Negosiasi untuk membentuk wilayah otonomi khusus pun dilanjutkan hingga saat ini. ”Kita membantu mereka. Sampai sekarang masih ada sepuluh anggota tim monitoring Indonesia di Mindanao,” kata Wapres Kalla.
Perdamaian di wilayah Filipina selatan menjadi sulit terealisasi karena terdapat banyak faksi di wilayah ini. Setidaknya, kata Kalla, ada empat faksi, yakni MILF, Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang dipimpin Nur Misuari, Abu Sayyaf, dan kelompok komunis. Akibatnya, mempersatukan wilayah ini diakui tidak mudah.
Sandera
Di wilayah Filipina bagian selatan, tiga warga negara Indonesia hingga kini masih disandera kelompok bersenjata. Murad mengetahui masalah ini dan akan berusaha membantu membebaskan mereka.
Kendati sandera selalu ditempatkan berpindah-pindah, MILF akan berusaha memantau pergerakan para penculik. Wapres Kalla menyambut baik bantuan MILF untuk mendorong percepatan pembebasan sandera WNI tersebut. (INA)