Pasal Penghinaan Tetap
JAKARTA, KOMPAS Pemerintah berkeras mempertahankan norma yang mengatur tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Sikap pemerintah ini didukung fraksi-fraksi di DPR.
Meski demikian, masih ada perbedaan sikap mengenai rumusan pasalnya. Perbedaan itu mencakup ancaman pidana dan jenis deliknya.
Saat rapat Tim Perumus RKUHP DPR dengan pemerintah, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/2), Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih menegaskan norma penting untuk menjaga kewibawaan negara. Sebab, presiden dan wakil presiden adalah simbol negara.
Selain itu, di dalam RKUHP, sudah ada norma yang mengatur ancaman pidana bagi siapa pun yang menghina presiden/wakil presiden negara lain. Jadi, sangat janggal apabila untuk pimpinan negara sendiri justru tidak terdapat perlindungan serupa dalam RKUHP.
Lagi pula, pasal penghinaan itu sudah dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak akan digunakan untuk menjerat mereka yang mengkritik kinerja presiden/wakil presiden. Ini seperti disebutkan di Pasal 238 Ayat (2) RKUHP, yaitu tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Selain itu, di bagian penjelasan Pasal 238 Ayat (2) juga diuraikan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi.
”Rumusan telah mempertimbangkan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) sekaligus dan masukan dari para ahli hukum,” kata Enny. Pada 2006, MK memang telah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden di KUHP.
Anggota Tim Perumus RKUHP DPR dari Fraksi PDI-P, Ichsan Soelistio, juga mendukung norma itu tetap ada. Norma itu disebutnya perlu dipertahankan untuk menjaga kewibawaan presiden/wakil presiden.
Beda pandangan
Dukungan juga disampaikan Ketua Tim Perumus RKUHP DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman. Hanya saja, dia menginginkan agar jenis delik yang diberlakukan untuk norma itu adalah delik aduan, bukan delik umum. Pemberlakuan delik umum dalam norma tersebut diusulkan oleh pemerintah.
Delik aduan berarti siapa pun yang menghina harus diadukan terlebih dulu oleh pihak yang dirugikan atau korban, dalam hal ini presiden atau wakil presiden. Adapun delik umum berarti aparat penegak hukum akan memproses kasus penghinaan sekalipun tidak ada pengaduan dari korban ke penegak hukum.
Sementara anggota Tim Perumus RKUHP DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, yang juga setuju pasal penghinaan tetap ada, menginginkan revisi pada ancaman pidananya.
”Jangan 5 tahun ancaman pidananya. Sebab, kalau 5 tahun, mereka yang dituduh menghina presiden ataupun wakil presiden bisa ditahan langsung oleh penegak hukum. Adapun kalau hukumannya di bawah 5 tahun, pelakunya tidak langsung ditahan,” tuturnya.
Oleh karena masih ada perbedaan sikap, tim perumus menyerahkannya kepada Panitia Kerja RKUHP DPR dan pemerintah guna pembahasan lebih lanjut. Apalagi, materi yang diperdebatkan sudah menyentuh substansi norma, sedangkan tugas tim perumus hanya merumuskan redaksional pasal di RKUHP.
Kamis kemarin menjadi rapat terakhir tim perumus. Tim telah menyelesaikan tugasnya merumuskan dan menyinkronisasi seluruh pasal, sekalipun masih ada sejumlah isu yang menuai perdebatan dan belum bisa diputuskan. Selanjutnya, hasil kerja tim akan dilaporkan kepada Panitia Kerja RKUHP DPR. Panitia kerja sekaligus akan menuntaskan isu yang belum diputuskan bersama pemerintah.
Selain soal pasal penghinaan presiden, pasal lain yang belum disepakati antara lain Pasal 495 tentang pencabulan sesama jenis, Pasal 505 tentang perjudian, tindak pidana khusus terkait korupsi swasta dan illicit enrichment (memperkaya diri sendiri).
Terkait korupsi swasta, Ketua Tim Perumus RKUHP dari pemerintah Muladi mengatakan, Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) merekomendasikan hal itu sebagai self considered atau dipertimbangkan diadopsi ke dalam UU. Hal ini berbeda dengan penyuapan oleh perusahaan asing yang direkomendasikan sebagai self adopted atau harus diadopsi sendiri.
(REK/APA)