JAKARTA, KOMPAS Merespons perkembangan penjatuhan dua sanksi etik kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, 54 guru besar atau profesor dari sejumlah bidang ilmu dan universitas terkemuka di Tanah Air meminta Arief untuk mundur. Sebagai Ketua MK, Arief dinilai telah kehilangan legitimasi moral dan etik untuk memimpin sebuah lembaga peradilan yang menjadi penafsir tunggal konstitusi.
Sebagai institusi yang merupakan anak kandung Reformasi, MK seharusnya diisi oleh para hakim yang memahami hakikat kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Tanpa pemahaman hakiki tersebut, hakim tidak bisa menjadi garda penjaga kebenaran. Konflik kepentingan atau vested interests dan ambisi pribadi terhadap kekuasaan hanya akan meruntuhkan lembaga konstitusi.
Dua profesor yang berbeda ilmu menyampaikan seruan itu, Jumat (9/2), di Jakarta, mewakili 54 profesor seluruh Indonesia yang menandatangani surat yang isinya meminta Arief untuk mundur. Kedua profesor dari Universitas Indonesia (UI) itu ialah Sulistyowati Irianto dan Mayling Oey. Mereka menyampaikan keterangan pers didampingi dua akademisi bidang hukum, yakni pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, dan pengajar hukum tata negara Universitas Airlangga (Unair), Herlambang Perdana Wiratraman.
”MK juga dilahirkan oleh gerakan Reformasi tahun 1998. Kelahiran MK telah dibayar dengan darah dan air mata para pejuangnya. Oleh karena itu, sangat tidak pantas apabila sebuah institusi yang diperjuangkan pendiriannya dengan semangat Reformasi itu dipimpin oleh orang yang melanggar etik,” kata Sulistyowati yang menekuni antropologi.
Idealnya bahkan seorang hakim konstitusi adalah orang yang memiliki sikap negarawan tinggi. Bahkan, bisa dikatakan memiliki karakter bersih, tidak tercela, hampir menyerupai malaikat yang hidupnya diabdikan untuk mengawal konstitusi.
”Sebagai pendidik, saya selaku kolega menyerukan Pak Arief agar mundur untuk menyelamatkan MK. Sebagai orang yang sehari-harinya berdiri di depan kelas tentu harus menjunjung tinggi etika. Kalau tidak bisa menjaga etika, mana bisa berdiri di depan kelas memberikan pengajaran,” kata Sulistyowati.
Patuhi hukum
Mayling Oey mengatakan, keikutsertaannya mendukung gerakan guru besar yang meminta Arief mundur didasari keprihatinannya terhadap kondisi bangsa yang terjerat lingkaran korupsi. Cacat etika dan integritas bisa menjadi jalan masuk menuju korupsi, terlebih lagi MK memiliki kewenangan yang sangat besar, dan putusannya final-mengikat seluruh warga negara Indonesia.
”Jika etika dalam kehidupan berbangsa itu hilang, kita sebagai bangsa juga akan hilang. Sebab, etika itulah yang menjadi landasan dan pegangan kita hidup berbangsa,” katanya.
Herlambang mengatakan, desakan mundur disampaikan juga oleh para akademisi hukum di Jawa Timur. Mereka berkumpul di Unair membahas krisis etik di MK. ”Bagi kami problem etik ini penting karena bagaimana kami bisa mengajarkan etika profesi penegak hukum kepada mahasiswa jika teladan yang diberikan ialah Ketua MK yang tersangkut persoalan etik, tetapi tidak mau mundur,” katanya.
Surat permintaan mundur kepada Arief dari para guru besar itu akan dikirimkan pada 13 Februari. Selain dari ke-54 guru besar, desakan mundur juga diserukan oleh Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia.
Saat ini, Arief menghadapi kasus dugaan pelanggaran etik ke-4 setelah 31 Januari lalu dilaporkan ke Dewan Etik MK oleh bawahannya, Abdul Ghoffar. ”Kami berharap anggota Dewan Etik MK memutus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Arief secara obyektif,” kata Bivitri.
Sementara itu, Arief, dihubungi secara terpisah, enggan berkomentar mengenai sejumlah desakan publik agar dirinya mundur dari jabatan Ketua MK. Arief mengatakan tetap berpegang pada ketentuan hukum.
”Saya ikuti ketentuan hukum yang berlaku. Ketentuan hukumlah yang harus diikuti negara. Indonesia adalah negara hukum, bukan berdasarkan petisi atau konferensi pers,” katanya. (REK)