Auditor Utama BPK Dituntut Hukuman 15 Tahun Penjara
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan, Rochmadi Saptogiri, dituntut 15 tahun penjara karena dinilai terbukti menerima suap, gratifikasi, dan melakukan pencucian uang dengan membeli tanah serta mobil dengan uang hasil korupsi. Selain itu, ia juga dituntut membayar denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Rochmadi juga dinilai tidak mampu menjelaskan asal-usul uang senilai Rp 1,725 miliar. Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi menilai Rochmadi terbukti menerima uang tersebut dari sejumlah pihak terkait dengan jabatannya.
Auditor Utama Keuangan Negara (AKN) III BPK itu juga terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dengan bawahannya, Kepala Sub-Auditorat III AKN BPK Ali Sadli. Ali pun dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa pada KPK Ali Fikri, Senin (12/2), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, mengatakan, Rochmadi dan Ali terbukti menerima suap Rp 240 juta dari Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Sugito, melalui Jarot Budi Prabowo secara bertahap. Rinciannya, Rp 200 juta diterima oleh Rochmadi dan Rp 40 juta diterima oleh Ali. Pemberian uang dilakukan pada 10 Mei dan 26 Mei 2017, yakni masing-masing Rp 200 juta dan Rp 40 juta.
Uang itu diberikan untuk menjamin agar Kementerian Desa PDTT memperoleh laporan hasil pemeriksaan keuangan tahun 2016 dengan status Wajar Tanpa Pengecualian. Padahal, setelah tim BPK melakukan pemeriksaan, masih ditemukan sejumlah kekurangan.
Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Ibnu Basuki, Ali Fikri mengatakan, selama menjabat sebagai auditor di BPK, Rochmadi juga menerima gratifikasi dari pihak-pihak lain.
Selama Desember 2014 hingga Januari 2015, Rochmadi mengeluarkan uang untuk membeli sebidang tanah dan membangun rumah di atasnya dengan nilai Rp 3,5 miliar.
”Akan tetapi, terdakwa Rochmadi tak dapat menjelaskan asal Rp 1,725 miliar yang digunakannya untuk membeli tanah itu. Terdakwa sebagai penyelenggara negara juga tidak pernah menyerahkan LHKPN terkait dengan kepemilikan aset itu,” tutur Ali.
Jaksa juga mempertimbangkan hal-hal memberatkan dan meringankan saat mengajukan tuntutan. Yang memberatkan, kata Ali Fikri, tindakan Rochmadi yang menyuruh bawahannya (Ali Sadli) sebagai perantara suap, menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, dan sikapnya yang tidak mau mengakui perbuatannya.
Atas tuntutan tersebut, Rochmadi, Ali Sadli, dan penasihat hukum mereka akan mengajukan nota pembelaan pada Rabu pekan depan. (REK)