JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dinilai mengembalikan hukum Indonesia ke zaman kolonial. Revisi UU MD3 itu ditaksir hanya bertujuan sebagai alat pembungkam kritik.
”Dulu hukum seperti itu digunakan pemerintah kolonial untuk membungkam aktivis antikolonial, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta pada masanya. Kini cara itu kembali digunakan,” kata Erwin Natosmal Oemar, peneliti Indonesian Legal Roundtable, saat diwawancarai, Rabu (14/2), di Hotel Ashley, Jakarta.
Menurut Erwin, cara-cara pembungkaman itu kembali lagi setelah disahkannya revisi UU MD3. Salah satu revisi yang dicermati adalah yang menyatakan Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengambil langkah hukum terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR atau anggota DPR.
Pasal ini dinilai sebagai pasal karet karena tidak ada penjelasan untuk memisahkan kritik atau merendahkan kehormatan. ”Ini hanya pasal karet, dasar hukumnya haartzail articlen. Ini mengakar pada hukum kolonial yang juga sudah diterjemahkan pada UU ITE. Hukum ini tidak berdasar,” kata Erwin.
Hal itu, kata Erwin, dapat merusak alam demokrasi di Indonesia. Kebebasan berpendapat sesuai UUD 1945 telah direnggut. Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan, setiap warga negara bebas berhak mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan, secara langsung maupun perwakilan.
Erwin menilai revisi itu inkonstitusional. ”Seharusnya kalau ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi pasti dimenangkan karena tidak sesuai konstitusi,” katanya. (DD06)