SEMARANG, KOMPAS — Perkembangan internet dan teknologi digital turut serta meramaikan kontestasi pemilihan kepala daerah serentak 2018. Selain berpotensi menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian, media sosial kerap difungsikan sebagai sarana transaksi kejahatan.
Jenis kejahatan semakin beragam dan lintas wilayah. Transaksi kejahatan, seperti narkoba, kini melalui dark web, tidak lagi bertemu langsung. Perkembangan teknologi ini juga mengubah cara bertransaksi dari penggunaan uang kartal menjadi uang virtual.
Kondisi ini, menurut Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Negara RI (Bareskrim Polri) Brigadir Jenderal (Pol) M Fadil Imran, semakin mengkhawatirkan. Dalam konteks kontestasi politik lokal, politik uang bisa berlangsung melalui internet. Begitu juga dengan penyebaran isu-isu sensitif dalam Pilkada 2018.
”Media sosial menarik digunakan karena gampang, mudah, dan murah serta daya jangkau luas. Media sosial harus dimanfaatkan secara bijak,” ujar Fadil dalam seminar bertema ”Pemanfaatan Teknologi untuk Polri yang Promoter dalam Menghadapi Pemilu Serentak 2018”, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (13/2).
Saat ini, sekitar 132,7 juta atau 40 persen dari total 265,4 juta penduduk Indonesia telah menggunakan internet.
Pendidikan pemilih
Perkembangan internet dan teknologi digital perlu dibarengi pemahaman masyarakat tentang karakteristik kabar bohong (hoaks) yang sering beredar melalui layanan pesan singkat di media sosial. Hal tersebut amat penting agar pemilih tidak mudah terprovokasi isu-isu sensitif selama masa Pilkada 2018.
Kabar bohong umumnya menggunakan judul yang provokatif, cenderung berpihak kepada salah satu kelompok, dan tidak disertai sumber informasi serta alamat situs yang jelas. Masyarakat diminta tidak mudah memercayai data dan foto yang terdapat dalam tulisan.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Laboratorium Forensik Polri Brigadir Jenderal (Pol) Alex Mandalika mengatakan, perkembangan internet dan teknologi digital ikut mempengaruhi proses pengungkapan kasus. Kini pengungkapan kasus tak hanya dengan olah tempat terjadinya perkara atau keterangan tersangka, tetapi juga menggunakan sistem informasi.
Teknologi forensik yang dimiliki Polri sudah berstandar internasional. Bahkan, teknologi itu diklaim sebagai yang terbaik kedua di Asia Tenggara setelah Singapura.
Sementara itu, Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Rycko Amelza Dahniel menambahkan, pemanfaatan teknologi di Polri fokus pada tiga bidang, yakni teknologi informasi, teknologi forensik, dan teknologi transportasi. (KRN)