Putusan MK dan Nasib KPK
MK memasukkan KPK sebagai bagian dari eksekutif sehingga bisa diawasi DPR. Intinya, tak ada lembaga nirpengawasan. Namun, DPR sendiri membangun benteng tinggi bagi anggotanya dari kritik publik dan penegakan hukum.
KH Mustofa Bisri pada malam penganugerahan Yap Thiam Hien Award, 24 Januari lalu, memberikan gambaran apa yang sedang terjadi di negeri ini. Menurut dia, banyak pemimpin di negeri ini terjangkiti karakter yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Apabila di era sebelum reformasi stempel korup itu dilekatkan pada figur tertentu, kini figur-figur koruptif itu tersebar hampir di semua lini.
Pernyataan Gus Mus itu mengingatkan kembali salah satu tujuan reformasi, 20 tahun lalu, yakni mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003 merupakan tindak lanjut dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Dalam perjalanannya kemudian, seperti yang kini dipertanyakan dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017, apakah komitmen untuk menuju negara bersih dari KKN itu masih ada? Putusan MK yang dibacakan pada 8 Februari lalu itu menggugah kembali pertanyaan mengenai komitmen pemberantasan korupsi di negeri ini karena putusan itu tidak hanya inkonsisten, tetapi juga membuka potensi bagi intervensi terhadap KPK oleh DPR melalui hak angket.
MK menyebut KPK sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif sehingga bisa diangket DPR. Namun, MK mengecualikan penggunaan angket pada tiga kewenangan KPK, yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Untuk tiga hal itu, KPK tak bisa diintervensi DPR.
Suara sembilan hakim MK terbelah mengenai posisi KPK dalam ketatanegaraan Indonesia. Lima hakim MK (Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, dan Manahan Sitompul) menyatakan KPK bagian dari eksekutif, sedangkan tiga hakim lain (I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, dan Suhartoyo) berpendapat KPK lembaga independen, dan satu hakim lain (Maria Farida Indrati) menilai KPK bagian dari eksekutif yang berciri independen sehingga tidak bisa diangket.
Putusan itu bertentangan dengan sedikitnya empat putusan MK sebelumnya terkait KPK. Dalam putusan sebelumnya, MK menyebut KPK sebagai lembaga independen yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Keberadaan badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945.
Mantan hakim MK, Maruarar Siahaan, dalam acara bincang-bincang Satu Meja yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo di Kompas TV, Senin (12/2) malam, berpendapat, putusan MK terdahulu dan terbaru soal KPK sama-sama benar. MK tidak bisa terpaku pada keadaan di masa lalu sebab ini soal interpretasi hakim.
Dalam acara bertajuk ”KPK Pascaputusan MK” itu hadir pula selaku narasumber Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, anggota DPR Arsul Sani, serta Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Tama S Langkun.
Arsul berpendapat, putusan MK yang tidak konsisten itu tak terhindarkan. Indonesia tidak menganut binding precedent atau putusan hakim sebelumnya menjadi rujukan mengikat bagi putusan selanjutnya.
Perlu diawasi
Terkait putusan itu, DPR memandang MK telah menempatkan kembali KPK ke posisi ketatanegaraan yang benar. DPR menginginkan KPK diawasi dan rekomendasi dari panitia angket harus ditaati. Elemen masyarakat sipil di satu sisi dikritisi karena seolah tidak mau KPK disentuh, sedangkan DPR selalu dianggap salah. ”KPK bukan angel (malaikat),” kata Arsul.
Putusan MK, menurut Fahri, menegaskan bahwa DPR adalah pengawas tertinggi bagi semua lembaga. Keberadaan KPK dinilai sudah tak diperlukan lagi. Metode penanganan perkara KPK yang teliti ”mengintip” orang pun dipandang menyimpang. Ia menginginkan korupsi diatasi dengan audit lembaga sehingga tidak perlu dilakukan operasi tangkap tangan (OTT). Lembaga audit, yakni Badan Pemeriksa Keuangan, diyakini mampu melakukan hal itu.
”Bayangkan, salah satu tape (rekaman) percakapan antara Oka Masagung dan Setya Novanto ada yang sejak tahun 2012. Artinya, selama enam tahun diintip. Ya, pasti orang ada masalah selama enam tahun itu,” katanya.
Menurut Maruarar, keinginan membubarkan KPK itu menafikan fakta bahwa OTT yang berulang kali terjadi menunjukkan korupsi itu riil. Korupsi tidak bisa diatasi semata dengan audit lembaga. Sebab, ada corak tindakan dan modus korupsi yang berbeda-beda. Dalam suap, misalnya, penerima dan pemberi berusaha keras menutupi sehingga KPK harus mengintip supaya perbuatan itu bisa diungkap.
Tama mengingatkan kembali, putusan MK mengecualikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dari hak angket. Apa pun rekomendasi Panitia Angket DPR ke KPK tidak bisa menyentuh tugas dan kewenangan KPK terkait tiga hal tersebut.
Di luar perdebatan tentang nasib KPK sesudah MK, kini publik tengah menyoroti Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, khususnya terkait sejumlah norma yang melindungi anggota DPR dari penegakan hukum. Dalam perspektif yang lebih luas, di satu sisi DPR mendesak lembaga lain diawasi. Namun, di sisi lain, DPR membangun benteng setinggi mungkin untuk melindungi dirinya.
Bagaimana kira-kira publik menilainya? Jawabannya ada di bilik suara, nanti pada 2019.
(RINI KUSTIASIH)