JAKARTA, KOMPAS — Jumlah dana kapitasi yang ditransfer Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan ke pusat kesehatan dan fasilitas kesehatan tingkat pertama lain mencapai belasan triliun setiap tahunnya. Dana itu rawan dikorupsi sejumlah pihak, mengingat sistem pengelolaan dan pengawasan yang belum efektif.
Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada delapan kasus korupsi terkait dana kapitasi di delapan puskesmas selama periode 2014-2017. Dana kapitasi adalah uang yang dibayarkan tiap bulan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang besarannya dihitung berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar, tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Delapan kasus tersebut melibatkan mulai dari kepala daerah, kepala dinas kesehatan, sekretaris dinas kesehatan, kepala puskesmas, dan bendahara puskesmas. Kerugian negara akibat kasus korupsi dana kapitasi BPJS terebut diperkirakan mencapai Rp 5,8 miliar.
Pada 3 Februari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko di Solo, Jawa Tengah. Ia diduga menerima suap yang berasal dari pemotongan dana kapitasi BPJS Kesehatan untuk 34 puskesmas di Jombang. Pemotongan dana kapitasi diduga dilakukan oleh Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Jombang Inna Silestyowati. Sebagian dana tersebut kemudian diduga digunakan untuk membiayai iklan dan kampanye Nyono sebagai peserta Pilkada Jombang 2018 (Kompas, 5/2).
”Kasus korupsi dana kapitasi BPJS di Jombang merupakan puncak gunung es dari pengelolaan dana kapitasi di sebagian besar puskesmas. Korupsi dana kapitasi tidak hanya terjadi di Kabupaten Jombang. Dana kapitasi juga digunakan untuk menyuap kepala daerah, akreditasi puskesmas, dan dana kampanye pilkada,” kata peneliti ICW, Dewi Anggraeni dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (13/2).
Belum optimal
Pada 2016, sebanyak 9.767 puskesmas dan FKTP lainnya menerima dana kapitasi sebesar Rp 13 triliun. Dana itu digunakan membiayai jasa pelayanan (medis serta nonmedis) dan biaya operasional. Namun, tata kelola puskesmas dinilai belum optimal oleh ICW sehingga meningkatkan potensi fraud.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2016 yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan juga disebutkan, secara umum, penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum sepenuhnya efektif. Pelayanan kesehatan pada puskesmas dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) belum didukung oleh jumlah dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan juga belum sesuai standar.
Dewi mencontohkan beberapa tindakan yang diduga korupsi dalam pengelolaan dana kapitasi. Di antaranya, manipulasi kehadiran dan komposisi petugas puskesmas, pemotongan dana jasa pelayanan bagi petugas medis dan nonmedis puskesmas, setoran puskesmas kepada atasan lebih tinggi, seperti kepala dinas kesehatan atau kepala daerah; serta manipulasi harga barang medis dan nonmedis yang dibeli.
Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri menambahkan, pegawai puskesmas rentan ditekan dan dimanipulasi oleh atasannya. ”Ada ketakutan kepada atasan karena mereka (pegawai puskesmas) bisa dimutasi atau dicopot dari jabatan. Untuk itu, sistem perlindungan saksi dan pelapor serta jaminan karier bagi ASN (aparatur sipil negara) sangat diperlukan,” ujarnya.
Terkait dengan kasus dugaan korupsi dana kapitasi BPJS Kesehatan di Jombang, KPK telah memanggil dua saksi, yaitu seorang dokter bernama Subur dan Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Bambang Irawan. Keduanya diperiksa untuk tersangka Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko.
”Keduanya didalami mengenai indikasi suap dan pungutan yang terjadi terhadap sejumlah pelayanan kesehatan yang ada di Jombang. Termasuk standar operasional dan mekanisme antara pelayanan kesehatan dan pemerintah terkait penganggaran,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah. (DD07/IAN)