Saat DPR Ingin Menyandera Rakyat...
DPR dan pemerintah sepakat merevisi UU Nomor 17 Tahun 2014 mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Revisi UU untuk menambah jumlah kursi pimpinan MPR/DPR itu juga mengancam rakyat.
Pepatah dalam bahasa Latin, yang berarti kian korup sebuah republik kian banyak undang-undang yang dilahirkan, bisa jadi belum dipahami anggota DPR periode 2014-2019. UU dalam pepatah itu sebenarnya tidak dibutuhkan masyarakat.
Senin (12/2) lalu, DPR dan pemerintah sepakat merevisi UU MD3. Revisi itu dipahami masyarakat untuk menambah kursi pimpinan legislatif, seperti yang disampaikan wakil rakyat selama ini. Keterkejutan publik muncul, ketika revisi UU No 17/2014 itu disepakati DPR dan pemerintah. Ternyata, revisi tak sekadar membahas penambahan kursi pimpinan parlemen, tetapi menyepakati sejumlah aturan baru yang dapat mengancam rakyat, termasuk komunitas pers. DPR pun dinilai membangun imunitas diri secara berlebihan dan menghambat demokrasi (Kompas, 13-14/2).
Perubahan pimpinan lembaga legislatif itu hanya diatur dalam tiga pasal dari total lebih kurang 23 pasal yang direvisi. Perubahan itu, termasuk penambahan ketentuan, nyaris tak pernah disosialisasikan ke masyarakat.
Mungkin DPR, yang disetujui pemerintah, menilai revisi UU MD3 tak menyangkut kepentingan rakyat secara langsung. Namun, kalau dibedah, masyarakat bisa terancam dengan ketentuan baru itu.
Dengan mengubah UU MD3, DPR tak hanya memperkuat dirinya, tetapi justru dimungkinkan memaksa rakyat yang memberi mandat kepadanya. Pasal 73 Ayat (3) UU MD3 hasil revisi, menyebutkan, setiap orang yang tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah dan patut tidak memenuhi panggilan DPR, bisa dipaksa dengan bantuan kepolisian. Polisi bisa menyandera seseorang yang tidak memenuhi panggilan DPR itu paling lama 30 hari.
Adapun yang dimaksud dengan setiap orang adalah ”orang perseorangan atau badan hukum atau pejabat negara atau pejabat pemerintah”. Dengan penjelasan ini, tak hanya rakyat yang bisa disandera DPR dengan bantuan kepolisian, tetapi juga penyelenggara negara lainnya. Di sisi ini, tidak ada peluang bagi rakyat atau siapa pun yang menolak panggilan parlemen untuk membela diri, seperti lewat praperadilan, dalam hukum acara.
Sementara itu, Pasal 74 UU No 17/2014 juga mengubah sifat rekomendasi yang dikeluarkan DPR baik dalam rapat kerja, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, dan lainnya menjadi sesuatu yang mengikat. Pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, dan warga negara wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR. Jika rekomendasi tak dilaksanakan, DPR dapat meminta Presiden atau instansi yang berwenang untuk memberikan sanksi.
Ketentuan di Pasal 74 itu menunjukkan DPR tak memahami arti rekomendasi. Rekomendasi bukanlah ”norma” yang boleh dipaksakan dengan sanksi sebab hanyalah saran. Semua jenis rapat yang digelar DPR bisa melahirkan rekomendasi dan bisa dipaksakan pelaksanaannya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menuliskan arti rekomendasi (n): 1. hal minta perhatian bahwa orang yang disebut dapat dipercaya, baik (biasa dinyatakan dengan surat); penyuguhan; 2. saran yang menganjurkan (membenarkan, menguatkan). Saran, menurut KBBI tidak lebih dari usul, pendapat, anjuran untuk dipertimbangkan. Inikah demokrasi, jika tak menaati saran wakil rakyat bisa diberi sanksi?
Kemerdekaan pers
Selain itu, Pasal 122 UU MD3 hasil revisi menyatakan, dalam melaksanakan fungsinya, MKD bertugas: (k) mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Tak ada penjelasan terkait pasal ini. Kritik di media massa atau lemparan telur busuk ke gedung parlemen oleh rakyat yang kesal dapat saja dianggap merendahkan martabat DPR atau anggota DPR. Siapakah yang berhak menentukan martabat wakil rakyat?
Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), menilai, seharusnya anggota DPR tak melindungi dirinya dengan UU yang dibuatnya sendiri. Anggota DPR seharusnya melindungi kehormatannya dengan membangun kredibilitas, kapabilitas, dan karya nyata bagi rakyat.
Bagir, yang juga mantan Ketua Dewan Pers dan ahli Hukum Tata Negara menilai, revisi UU MD3 itu berpotensi menghambat kemerdekaan pers.
Anggota Ombudsman RI, A Alamsyah Saragih, menilai, revisi UU MD3 itu menempatkan DPR menjadi penyelenggara negara antisosial. Kritik di ruang publik adalah bentuk akuntabilitas sosial dalam rezim demokrasi. ”Kita ini seperti kembali ke titik nol peradaban,” ujarnya.
Anggota DPR, Akbar Faisal, Kamis (15/2), di Jakarta, menjelaskan, warga masih bisa menyoal UU MD3 hasil revisi itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Masyarakat tak bisa memberikan masukan untuk mengubah revisi itu sebab sudah disepakati pemerintah dan DPR.
Nasib demokrasi di negeri ini kini di tangan sejumlah kalangan, termasuk Dewan Pers yang akan menguji konstitusionalitas sejumlah norma di UU MD3 hasil revisi. Namun, terutama di tangan sembilan negarawan, hakim MK.
(TRI AGUNG KRISTANTO)