Celah Korupsi Masih Banyak Ditemukan
JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan beberapa kepala daerah yang terlibat korupsi dana kapitasi jaminan kesehatan ataupun pinjaman dana pembangunan infrastruktur perlu segera direspons dengan evaluasi agar pengawasan dan pencegahan korupsi dapat ditingkatkan. Untuk itu, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi karena celah korupsi masih ditemukan pada beberapa mekanisme usulan ataupun penggunaan anggaran.
Operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko dan Bupati Lampung Tengah, Lampung, Mustafa baru-baru ini semestinya tidak perlu terjadi jika sebelumnya ada mekanisme pengawasan yang ketat dari pemerintah untuk mencegah korupsi berulang.
Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri, Minggu (18/2) di Jakarta, mengatakan, korupsi dana kapitasi jaminan kesehatan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dilakukan Bupati Jombang merupakan salah satu contoh.
Kasus tersebut juga bukan kasus baru. Sebelumnya, korupsi dana kapitasi BPJS Kesehatan pernah terjadi dan diungkap
oleh KPK. Kasus korupsi tersebut melibatkan Bupati Subang, Jawa Barat, Ojang Suhandi pada 2016.
Dari hasil kajian ICW, lanjut Febri, setidaknya ada tujuh potensi korupsi pada penggunaan dana kapitasi BPJS Kesehatan, seperti di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Ketujuh potensi korupsi itu meliputi dugaan manipulasi kehadiran petugas, pemotongan dana jasa pelayanan, pungutan liar, setoran atau suap kepada dinas kesehatan, penggelembungan harga dan belanja fiktif, anggaran ganda, dan mengarahkan pasien berobat ke klinik swasta.
Bahkan, lanjut Febri, pengelolaan dana kapitasi di puskesmas pun tidak berjalan transparan. Dari perencanaan hingga penganggaran berjalan tertutup dan hanya dijalankan oleh kepala dan bendahara puskesmas. ”Hal ini bisa berpotensi terjadi manipulasi dan pemotongan dana kapitasi oleh oknum kepala ataupun bendahara puskesmas,” katanya.
Komisioner Ombudsman RI, Dadan Suparjo Suharmawijaya, menambahkan, penggunaan dana kapitasi jaminan kesehatan berpotensi terjadi penganggaran ganda. Untuk pengadaan obat dengan dana kapitasi BPJS Kesehatan, contohnya, puskesmas harus melakukannya lewat katalog elektronik. Sementara dari temuan Ombudsman RI, penggunaan dana kapitasi untuk pengadaan obat tidak digunakan maksimal karena sistem katalog elektronik tidak mudah dijalankan puskesmas.
”Temuan kami, peruntukan obat-obatan tidak optimal digunakan karena sistem pengadaan obat lewat e-katalog menyulitkan puskesmas. Mereka harus masuk e-katalog, padahal pesanan obatnya relatif sedikit. Akibatnya, pengadaan obat dianggap membingungkan puskesmas,” katanya.
Tanpa pengawasan
Menurut anggota Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur, Edo Rakhman, celah korupsi juga terjadi pada pinjaman dana pembangunan infrastruktur yang akan disalurkan pemerintah lewat PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) kepada Kabupaten Lampung Tengah.
Kasus tersebut tidak hanya berujung pada penangkapan Bupati Lampung Tengah Mustafa, tetapi juga sejumlah anggota DPRD, pejabat, pegawai negeri sipil, dan pihak swasta di Kabupaten Lampung Tengah. Penangkapan terjadi setelah adanya dugaan suap ke sejumlah anggota DPRD yang meminta imbalan pada persetujuan pinjaman PT SMI.
Menurut Edo, syarat pengajuan pinjaman dana yang membutuhkan persetujuan DPRD menjadi salah satu penyebab. Padahal, tidak ada mekanisme pengawasan terhadap pengajuan hingga penggunaan dana pinjaman tersebut. ”Sejauh mana peran DPRD mengawasi penggunaan anggaran tersebut nantinya pun tidak jelas,” katanya.
Edo menambahkan, pinjaman dana pembangunan infrastruktur lewat PT SMI merupakan skema baru yang dikembangkan pemerintah. Harapan pemerintah, dengan pinjaman infrastruktur tersebut, pemerintah daerah bisa lebih mudah mengakses dana pembangunan infrastruktur di daerah. (MDN)