Mendulang Suara Tanpa Tebar Kebencian
Suasana masa kampanye pilkada serentak 2018 yang dimulai 15 Februari lalu belum terlalu dirasakan publik, terutama mereka yang akan jadi pemilih. Perang gagasan antarkandidat belum terlalu terlihat.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas tentang Penyelenggaraan Kampanye Pilkada 2018, sebagian besar responden menyatakan tertarik mengikuti kampanye pilkada. Responden yang tersebar di 14 kota besar di Indonesia ini mayoritas berdomisili di daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak 2018, baik pemilihan gubernur, bupati/wali kota, maupun keduanya.
Ada dua kategori responden yang tertarik dengan kampanye pilkada, yaitu mereka yang hanya memantau atau dapat materi kampanye lewat media dan mereka yang ingin ikut kampanye secara langsung. Kategori pertama jadi bagian terbesar dengan proporsi 31,7 persen. Kelompok ini terbagi ke dua jenis media, yaitu media massa (cetak dan elektronik) dan media sosial.
Kategori kedua adalah responden yang ingin terlibat langsung di kampanye yang bisa diikuti melalui pawai kendaraan, pertunjukan musik dan seni, orasi terbuka, serta dialog bersama pasangan calon (paslon). Sebanyak 26,2 persen responden mengaku tertarik terjun langsung bersama paslon dan tim suksesnya dalam kampanye.
Tingginya animo responden terhadap kampanye pilkada menggambarkan karakter pemilih yang ingin mengetahui dahulu kemampuan calon melalui materi kampanye yang disampaikan. Isu-isu kampanye jadi bahan untuk menilai tiap-tiap paslon sebagai pertimbangan sebelum keputusan memilih ditetapkan.
Jajak pendapat ini juga mengungkapkan orientasi responden terhadap kampanye pilkada. Mayoritas (43,8 persen) responden menyatakan ketertarikan mereka kepada kampanye didorong oleh rasa ingin tahu terhadap visi-misi dan program paslon. Sementara responden yang tertarik kepada sosok paslon sebesar 21 persen. Kemeriahan seremoni kampanye dengan mobilisasi massa dan atraksi panggung diminati 4,1 persen responden.
Isu SARA
Mencuatnya kekhawatiran responden terhadap potensi mobilisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam pilkada serentak 2018 ini perlu dicermati. Pasalnya, di tengah kontestasi yang sangat ketat, isu SARA efektif untuk mendiskreditkan lawan politik.
Menurut hasil jajak pendapat ini, mobilisasi isu SARA di pilkada serentak 2018 berpotensi terjadi di beberapa daerah. Namun, mobilisasi isu ini belum terasa masif sehingga dinamika ataupun kondisi politik di daerah peserta pilkada tetap kondusif.
Dari jajak pendapat ini juga terungkap, kemenangan calon pilihan bukan sasaran utama publik di pilkada ini. Jika isu SARA dimainkan, publik lebih memilih menjaga kohesivitas masyarakat ketimbang memenangkan calon pilihan mereka. Pilihan ini merefleksikan kekhawatiran publik terhadap mobilisasi isu SARA untuk mendiskreditkan lawan politik yang potensial.
Sebagian besar responden setuju, isu SARA membuat mereka khawatir terhadap kualitas pilkada sekaligus ancaman terhadap kohesivitas masyarakat. Dua dari tiga responden khawatir terhadap penggunaan isu SARA di pilkada yang bisa memicu kebencian antarpendukung paslon.
Dalam skala efek yang lebih besar, isu SARA juga dikhawatirkan memicu konflik terbuka antarpendukung paslon. Dua pertiga bagian responden mengungkapkan kekhawatiran ini. Kekhawatiran responden terhadap retaknya kohesivitas dalam kehidupan sosial sangat signifikan, hingga penyelamatan keutuhan masyarakat lebih diutamakan dalam melawan isu SARA.
Kampanye negatif
Melalui kampanye, paslon dan parpol menjelaskan tujuannya kepada masyarakat yang dilakukan secara terorganisasi agar orang yang dicalonkan bisa dipilih atau dipilih kembali pada sebuah jabatan resmi.
Namun, kampanye juga bisa jadi alat untuk menyerang lawan politik mulai dari skala yang normal berupa kritik hingga ke skala ekstrem, yaitu ejekan personal dan fitnah. Model-model kampanye ekstrem yang memanfaatkan segala media untuk mendiskreditkan lawan politik ini dikenal sebagai kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign).
Sejauh ini, responden belum merasakan serangan kampanye negatif dan kampanye hitam di daerah mereka secara masif. Hanya sepertiga bagian responden yang menyatakan pernah mendengar atau melihat kampanye negatif dan kampanye hitam di daerah mereka.
Sumber informasi responden terkait munculnya kampanye negatif/hitam di daerah mereka cukup beragam. Dari responden yang pernah mendengar kampanye negatif ini, sebagian besar menyatakan tahu isu itu dari media massa, baik cetak maupun elektronik. Sumber lain adalah mendengar langsung dari orang lain. Proporsinya 21,3 persen. Sementara 20,3 persen responden mendapatkan informasi tentang kampanye negatif dari media sosial dan media luar ruang (spanduk, baliho, dan poster).
Perlu kontrol
Ketatnya persaingan untuk menjadi kepala daerah yang dipadu dengan ambisi para paslon memenangi pilkada membuat dinamika politik lokal bergerak cepat.
Kontrol terhadap berkembangnya kampanye negatif ataupun kampanye hitam selama masa kampanye perlu dilakukan sedini mungkin supaya bisa mengantisipasi ekses lanjutan dari dua jenis kampanye tersebut. Pasalnya, model-model kampanye yang diatur oleh KPU dengan media yang digunakan bisa saja disusupi dengan konten kampanye negatif dan kampanye hitam untuk mendiskreditkan lawan politik.
Para paslon dan tim suksesnya wajib mengontrol materi kampanye yang hendak disampaikan agar tidak terkontaminasi dengan konten kampanye yang mendiskreditkan lawan politik. Kampanye bisa digunakan sebagai wahana untuk mendulang dukungan yang seluas-luasnya tanpa menebar kebencian kepada lawan politik. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)