Mengukuhkan Ikatan ”Basudara”
Ikatan ”basudara” atau persaudaraan ”pela gandong” dan sejenisnya di Maluku terbukti mampu menembus sekat-sekat perbedaan. Ikatan itu pun tetap terpelihara saat konflik pecah di Maluku pada 1999-2002.
Hangatnya perjumpaan murid SMPN 9 Ambon di Lateri, Ambon, dan SMPN 4 Salahutu di Liang, Maluku Tengah, pada 2013 begi-tu membekas dalam ingatan Muhamad Yusuf (43), guru di SMPN 4.
”Awalnya banyak yang menolak pertemuan itu. Banyak yang curiga atau takut karena masih trauma konflik 1999. Namun, setelah pertemuan, semua itu langsung sirna, tergantikan dengan keinginan untuk merajut persaudaraan,” kenang Yusuf.
Seusai acara perjumpaan yang berlangsung di SMPN 9, murid SMPN 4 meminta untuk menginap di ruang-ruang kelas SMPN 9. Padahal, agenda menginap tak ada di perencanaan semula. Mereka seperti enggan berpisah dengan murid-murid SMPN 9. Begitu pula sebaliknya. Murid SMPN 9 dan guru-guru mereka berat melepas murid dan guru SMPN 4 kembali ke Liang.
Siswa SMPN 4 seluruhnya beragama Islam dan Liang, tempat sekolah berada, merupakan wilayah yang penduduknya beragama Islam. Adapun SMPN 9 Ambon yang mayoritas muridnya beragama Kristen berada di Lateri yang penduduknya beragama Kristen.
Perasaan curiga dan takut yang awalnya ditunjukkan murid dan orangtua siswa SMPN 4 dan SMPN 9 sebenarnya gambaran perasaan kedua komunitas, Islam dan Kristen, yang saat itu belum hilang sepenuhnya setelah konflik.
Meski setelah tahun 2002 kondisi sudah kembali aman, interaksi masih didasari saling curiga. Interaksi pun kerap hanya terjadi di wilayah netral karena masih kuatnya perasaan takut masuk ke wilayah komunitas yang berbeda agama.
Prihatin dan gelisah dengan kondisi itu, terlebih trauma, sangat mungkin diwariskan kepada generasi penerus. Untuk itu, guru di kedua sekolah menginisiasi perjumpaan. Perjumpaan tersebut dibungkus dengan adat, yaitu angkat pela kedua sekolahan.
Pela merupakan ikatan persaudaraan sejumlah negeri (desa) yang dirajut leluhur orang Ambon, Seram, dan pulau-pulau Lease (Haruku, Saparua, dan Nusalaut). Untuk membuat ikatan, leluhur menyebutnya dengan nama angkat pela. Di balik setiap ikatan pela, terkandung nilai tolong-menolong, menghargai, dan mengasihi antarsesama tanpa melihat latar belakang suku, agama, ataupun ras.
Selama konflik, pela dan gandong, yang adalah ikatan persaudaraan antarnegeri karena pertalian darah, terbukti tak terusik. Mereka tetap saling membantu, seperti mengungsikan saudara pela atau gandong saat negerinya diserang, sekalipun mereka berbeda agama.
”Di tangan anak-anak, tongkat estafet masa depan Maluku berada. Jadi, tugas kita sebagai pendidik memastikan permusuhan cukup berhenti di orangtua mereka. Generasi penerus harus paham kalau keberagaman bukan penghalang untuk bersatu. Bagaimana caranya? Ya, dengan angkat pela,” ujar Kepala Sekolah SMPN 9 Ambon Elisabeth Harmusial Dias.
Setelah angkat pela, siswa kedua sekolah betul-betul jadi saudara. Saling berkunjung saat Natal atau Lebaran, kemudian merayakannya bersama-sama. Begitu pula sejumlah kegiatan sekolah, seperti pramuka, dilakukan bersama.
Untuk merawat ikatan yang terjalin setelah angkat pela tahun 2013, sudah tiga kali kedua sekolah menggelar panas pela, yaitu prosesi untuk memperkuat ikatan pela yang telah terjalin.
Dari angkat pela itu, tak hanya murid kedua sekolah yang menjalin persaudaraan. Persaudaraan pun bisa meluas ke masyarakat kedua negeri. Bahkan, banyak sekolah lain di luar kedua negeri yang ikut angkat pela.
Jadilah angkat pela sekolahan ini sebagai aktualisasi budaya pela dan gandong dalam konteks kekinian.
Sejarah ”pela”
Jika menilik sejarahnya, angkat pela terus berubah mengikuti dinamika di masyarakat.
Dieter Bartels dalam bukunya Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah menyebutkan, pela berakar dalam tradisi mengayau leluhur orang Maluku. Saat itu, pela dibuat untuk melindungi diri dari musuh dan berdamai. Saat kekuatan kolonial datang, angkatpela dibuat oleh kampung-kampung untuk mempertahankan diri dari serbuan asing.
Di abad ke-19, ikatan pela dimanfaatkan untuk mendamaikan kampung yang dipaksa berperang di pihak Belanda dengan kampung pemberontak. Masih pada abad yang sama, pela diadaptasi kampung dengan ekonomi lemah agar bisa memperoleh produk makanan, khususnya sagu, dari kampung yang punya banyak bahan makanan.
Selain di Ambon dan sekitarnya, ikatan persaudaraan seperti pela dan gandong juga dijumpai dengan nama berbeda di wilayah lain di Maluku. Misalnya di Pulau Buru dengan nama kai wai, kemudian di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, dengan nama tea-bel. Ikatan persaudaraan serupa juga ada di antara masyarakat Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, dengan nama kida bela atau duan lolat.
Sentralisasi politik dan upaya penyeragaman budaya yang terjadi di era Orde Baru membuat kekuatan ikatan persaudaraan pela dan gandong memudar. Akibatnya, ketika terjadi konflik tahun 1999, tak ada lagi kekuatan yang bisa menjadi jembatan.
Pela, gandong, dan sejenisnya sebatas diingat oleh negeri yang memang terikat oleh ikatan itu. Mereka bisa menjauhkan diri dari konflik, bahkan saling membantu, sekalipun antarnegeri ada yang berbeda agama. Namun, itu pun lebih karena adanya keyakinan bahwa pelanggaran terhadap pela akan mendatangkan musibah.
Setelah konflik, makin disadari bahwa nilai yang ada di balik pela, gandong, dan sejenisnya dapat dijadikan alat mempersatukan perbedaan yang ada. Akibatnya, muncul upaya menghidupkan kembali nilai-nilai itu. Pela pun diaktualisasikan, salah satunya dalam bentuk angkat pela sekolahan.
Pendidikan
Guru Besar Antropologi Universitas Pattimura, Ambon, Mus Huliselan mengatakan, menjadikan warisan leluhur, seperti pela dan gandong, sebagai simbol solidaritas dan persatuan di Maluku merupakan keniscayaan untuk mencegah terulangnya konflik seperti yang terjadi di daerah itu pada 1999.
Namun, yang lebih penting adalah mengaplikasikan nilai luhur yang terkandung di dalamnya, dalam kehidupan sehari-hari. ”Untuk itu, pendidikan jadi kunci selain tentunya peran aktif pemerintah,” kata Huliselan.
Di Pilkada 2018, saat Maluku menjadi salah satu daerah yang menggelar pilkada, ikatan pelagandong dan sejenisnya akan kembali menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan daerah itu. Warisan leluhur itu bisa menjadi benteng untuk menepis ancaman yang mungkin datang dari efek kontestasi pilkada.
(A Ponco Anggoro/Andy Riza Hidayat)