SURABAYA, KOMPAS — Pelanggaran etika merupakan sebuah pelanggaran yang jauh lebih serius dibandingkan dengan pelanggaran profesi. Pasalnya, pelanggaran etika menyangkut kelayakan pribadi dalam melaksanakan tugas profesional tertentu.
”Pelanggaran profesi bisa dikoreksi dengan perbaikan praktik profesi. Namun, pelanggaran etika sudah menyangkut kelayakan pribadi pelaku. Konsekuensinya hanya berarti tidak layak melaksanakan tugas profesional itu. Jadi, jalan keluarnya memang diminta mundur,” kata Frans Limahelu, Guru Besar Etika dan Profesi pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, pada diskusi di Pusat Studi Hukum HAM FH Unair, Jumat (23/2), di Surabaya, Jawa Timur.
Pernyataan Frans Limahelu tersebut berkaitan dengan pelanggaran etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat. Arief telah dikenai sanksi etik oleh Dewan Etik MK sebanyak dua kali. Saat ini, sejumlah pihak kembali melaporkan dugaan pelanggaran etik oleh Arief dan masih diproses oleh Dewan Etik. Laporan itu, antara lain, disampaikan peneliti MK Abdul Ghoffar, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, dan Masyarakat Antikorupsi Pemuda Muhammadiyah.
Guru Besar Hukum Asia dari Universitas Nagoya, Jepang, Yuzuru Shimada yang hadir dalam diskusi itu mengatakan hal yang sama di Jepang. Ia mendampingi mantan Ketua MK Mahfud MD saat berkunjung ke Jepang bulan ini. Percakapan Mahfud dengan komunitas pengacara di Jepang tentang etika hakim ditulis di media massa di Indonesia. Mahfud kaget, ternyata pembahasan tentang etika hakim tidak dikenal di Jepang.
”Hakim Jepang memang dikenal bersih dari pelanggaran etika, suap atau korupsi, tetapi tidak berarti tidak ada tekanan terhadap hakim. Tekanan yang jelas ada berupa tekanan politik, seperti kasus yang pernah terjadi; intervensi terhadap status ekologi tanah yang digunakan sebagai lokasi pemasangan misil (peluru kendali). Mahkamah etik hakim di Jepang memang ada. Namun, sejak konstitusi Jepang terbaru pada 1947, hanya ada sembilan hakim di Jepang yang pernah disidangkan untuk tuduhan pelanggaran etika,” paparnya.
Namun, pelanggaran itu bukan terkait perkara, melainkan pelanggaran perilaku pribadi semacam kartu kredit yang kedaluwarsa dan pelecehan seksual.
Yuzuru menilai, problem etika pada profesi hakim amat terkait dengan kondisi budaya. Menambah gaji saja tidak menyelesaikan masalah pelanggaran etik. Menurut dia, pelanggaran etika bisa dicegah dengan pola perekrutan hakim yang baik. (ODY)