Festival digelar mulai awal Maret hingga puncak acara peringatan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober mendatang, dengan diikuti kelompok pengajian, majelis zikir, mahasiswa, ataupun kalangan pesantren se-Indonesia. Melalui festival itu, Presiden Jokowi mengajak semua pihak untuk memperkuat ikatan persaudaraan sesama warga.
”Marilah kita mulai dengan hal yang baik-baik. Dengan selawat, marilah kita rekatkan persaudaraan dan persaudaraan di antara kita. Jangan lagi menjelek-jelekkan antarsaudara, jangan mencemooh, berprasangka buruk, jangan saling memfitnah. Dengan izin Allah, marilah kita selalu berprasangka baik, saling menghormati, menghargai, menjunjung tinggi etika dan budi pekerti,” kata Presiden di hadapan ribuan hadirin yang memenuhi arena Sentul International Convention Center, di Bogor, Jawa Barat.
Berulang kali Presiden menyampaikan agar warga tak terpancing dengan momen politik, seperti pemilihan kepala daerah serentak yang digelar di 171 daerah pada 2018. Meski berbeda pilihan diperbolehkan, persaudaraan seharusnya tetap utuh. Pasalnya, semua unsur masyarakat itu saling membutuhkan satu sama lain, seperti pemimpin yang selalu membutuhkan masukan, kritik, dan saran dari ulama. Sebab, ulama itu penyalur suara rakyat, suara umat.
Bagi keutuhan seluruh bangsa, tambah Presiden, persatuan sesama warga bangsa sangat penting. Sebagaimana yang sering disampaikan Presiden, perpecahan antarwarga negara akan membawa petaka bagi bangsa tersebut. Kondisi inilah yang dihadapi sejumlah negara di dunia, salah satunya Afghanistan. Indonesia seharusnya belajar dari persoalan yang dihadapi negeri itu agar tidak terjebak konflik perang saudara.
Presiden hadir mengenakan sarung berwarna ungu, dipadu dengan jas abu-abu, kemeja putih, dan kopiah hitam. Tampak mendampingi Presiden, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Ketua Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki.
Ketua Panitia Festival Abdul Gofar Rozin Sahal menyampaikan, selawat adalah bukti rasa cinta dan hormat dari umat ke junjungannya. Bentuk selawat dari zaman ke zaman terus berkembang. Selawat telah tumbuh sebelum RI berdiri sebagai negara. Bentuk dan gaya penyampaiannya pun bercampur budaya lokal.
Sementara itu, Khatib A’am PBNU Yahya Cholil Staquf, saat berbicara di sarasehan kebangsaan bertema ”Menjaga Pancasila dengan Tawa”, di Kecamatan Tempuran, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (24/2) malam, menyatakan, pada masa lalu, agama tidak pernah menjadi bahan konflik kehidupan sosial bernegara. (NDY/EDY)