Harapan Publik terhadap Partai Politik
Empat partai baru akan turut bertarung dalam kontestasi politik mendatang, yaitu Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Beringin Karya (Berkarya), dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda). Sementara dua parpol lama ditetapkan tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, yakni Partai Bulan Bintang serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Fenomena munculnya parpol baru menjadi bagian yang tidak terlepaskan dalam setiap penyelenggaraan pemilu pascareformasi. Hal ini bisa dimaknai sebagai bentuk lemahnya identitas kepartaian masyarakat. Kecenderungan cairnya arah pilihan publik terhadap parpol membuka peluang partai baru untuk merebut suara pemilih.
Berulangnya kekecewaan publik atas kinerja parpol yang ada boleh jadi memperlebar ruang dan peluang munculnya partai baru. Hal ini setidaknya ditandai dengan keberhasilan sejumlah partai baru mengambil ceruk suara pemilih dalam tiga pemilihan umum terakhir.
Pada Pemilu 2009, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) muncul pertama kali sebagai peserta pemilu dan berhasil merebut 26 kursi DPR RI. Sementara Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) berhasil menduduki 18 kursi pada pemilu yang sama. Berikutnya, Partai Nasdem berhasil merebut 35 kursi legislatif pada Pemilu 2014.
Keberhasilan parpol baru dalam merebut suara pemilih tidak serta merta mengilustrasikan fenomena munculnya gagasan perubahan dan ideologi baru sebagai modal politik. Jika menelisik keberhasilan partai-partai baru dalam merebut suara pemilih pada setiap pemilu, faktor yang paling menentukan cenderung bertumpu pada aspek ketokohan atau kekuatan dana yang dimiliki partai tersebut.
Menyambut kehadiran empat partai baru yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta Pemilu 2019, sedikitnya tercatat 12 persen dari responden yang dijajaki pendapatnya menyebut akan memilih salah satu dari partai baru.
Dari keempat partai baru yang terdaftar, Perindo menjadi parpol yang lebih populer di mata publik dibandingkan dengan tiga partai baru lainnya. Hal ini tidak mengherankan karena Perindo dengan Ketua Umum Hary Tanoesoedibjo, pemilik jaringan media nasional, menjadi partai politik baru yang paling gencar mengiklankan diri.
Peran parpol
Ekspresi publik cenderung terbelah dalam menilai citra partai politik selama ini. Pada satu sisi, publik menilai parpol memegang sejumlah peran penting dalam kehidupan bernegara. Fungsi sebagai penyalur aspirasi politik merupakan fungsi paling penting yang disuarakan 46,8 persen responden. Fungsi penting lain adalah sebagai wahana pendidikan politik (24,4 persen), pengaderan (11,2 persen) dan fungsi partisipasi politik (10,6 persen).
Pada sisi lain, persepsi publik juga cenderung bernada negatif dalam menilai kinerja parpol dalam menjalankan peran politiknya. Parpol, misalnya, masih dianggap gagal melahirkan kader pemimpin yang berkualitas. Sebanyak 61,2 persen responden menilai hingga saat ini partai politik belum berhasil melahirkan kader pemimpin, seperti kepala daerah yang tangguh dan berkualitas.
Kegagalan parpol dalam melahirkan kader pemimpin tampak dari kontestasi pemilihan kepala daerah yang berlangsung selama ini. Strategi pemenangan pilkada yang lebih banyak mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berlatar belakang nonpartai menjadi salah satu bukti lemahnya pengaderan kepemimpinan parpol.
Persepsi negatif publik terhadap parpol juga dipengaruhi oleh rekam jejak politisi atau kader politik yang duduk di Parlemen yang selama ini menjadi sorotan publik. Sepak terjang kader partai yang duduk di parlemen tak jarang memberikan contoh keteladanan politik yang kurang baik. Pernyataan yang dilontarkan sebagian politisi partai seperti yang kerap dipertontonkan media turut juga membentuk persepsi negatif publik.
Belum lagi sejumlah kasus korupsi yang menjerat kader-kader dari partai politik di Parlemen ataupun kader parpol yang menjabat sebagai kepala daerah. Sebanyak 61,4 persen responden memberi pandangan bahwa kader parpol belum mampu menunjukkan keteladanan dalam berpolitik.
Dampaknya, terdapat sebagian publik yang cenderung bersikap apatis dalam menyambut pemilu mendatang. Beatrik Eunike, misalnya, responden asal Jayapura, Papua, berpendapat hasil pemilu tidak memberikan dampak perubahan positif bagi daerahnya. ”Tidak banyak perubahan dari pemilu lalu dengan kondisi sekarang,” ujar mahasiswi Universitas Bumi Cendrawasih tersebut.
Hal senada juga disampaikan Agung Puji Akbar Rahmad, karyawan swasta asal Bandung, yang berpendapat hasil Pemilu 2014 dan pemilu-pemilu sebelumnya tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa ini.
Optimistis
Hasil pengumpulan pendapat publik menunjukkan harapan publik cukup besar bahwa pemilu tahun depan dapat memberi perubahan atas kondisi politik Indonesia. Lebih dari separuh responden yang dimintai pendapat berkeyakinan bahwa pemilu mendatang akan menghasilkan wakil rakyat yang lebih berkualitas dari anggota DPR yang sedang menjabat saat ini.
Nada optimistis dalam pendapat sebagian publik ini seolah memberi sinyal positif bahwa publik ternyata masih menaruh harapan terhadap partai politik sebagai kendaraan yang mengusung sistem demokrasi di negeri ini. Selain itu, enam dari sepuluh responden juga yakin jika partai politik dapat menyalurkan aspirasi pemilihnya. Anggapan ini memberi arti bahwa masih ada harapan bagi parpol untuk menjadi lembaga yang dipercaya guna memperjuangkan suara warga negara.
Publik sesungguhnya masih menaruh harapan munculnya perubahan dengan terpilihnya anggota legislatif lewat pemilu. Mayoritas responden (87 persen) pun menyatakan akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu yang akan berlangsung tahun depan. Hanya 11 persen responden yang menyatakan belum memutuskan apakah akan menggunakan hak suaranya atau tidak pada pemilu mendatang.
Tahapan kontestasi Pemilu 2019 sudah dimulai, tetapi masih menyisakan pertanyaan besar di mata publik, yakni seberapa besar pengaruh pemilu bagi publik. Harapan publik sederhana saja, pemilu bisa memberikan dampak positif yang membuat kondisi negeri ini menjadi lebih baik sehingga pemilu tak sekadar ajang perebutan kekuasaan para elite partai. (TOPAN YUNIARTO/LITBANG KOMPAS)