Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri, Sabtu (24/12), di Jakarta menyampaikan, masih banyak masyarakat yang belum memahami bahwa program dan kegiatan pemerintah menentukan hidup mereka. Contoh, pembangunan jalan di desa terkadang tidak ada transparansi dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, penganggaran, dan pengadaannya. Akibatnya, kegiatan itu dikuasai kepala daerah, birokrat, anggota DPRD, dan pemborong. Mereka bersekongkol untuk mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek tersebut.
Sepanjang 2017, sebagai contoh, ada 30 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, salah satu di antaranya adalah gubernur. Berdasarkan catatan ICW, kepala daerah itu terlibat dalam 29 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 231 miliar dan suap sebesar Rp 41 miliar.
Korupsi kepala daerah itu terkait dengan penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, perizinan, pembangunan infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, promosi dan mutasi pejabat daerah, serta pengelolaan aset daerah. Dari 29 kasus itu, 11 kasus di antaranya ditangani oleh KPK, 9 kasus oleh kejaksaan, dan 8 kasus oleh kepolisian.
Korupsi paling banyak terjadi di pemerintah kabupaten dengan 222 kasus dengan kerugian negara Rp 1,17 triliun, disusul pemerintah desa sebanyak 106 kasus dengan kerugian negara Rp 33,6 miliar, dan ketiga adalah pemerintah kota sebanyak 45 kasus dengan kerugian negara Rp 159 miliar.
Menurut Febri, korupsi sulit dicegah jika hanya mengandalkan aparat pengawas intern pemerintah (APIP). Pasalnya, APIP merupakan bagian dari birokrasi dan merupakan bawahan kepala daerah. ”Kalau ada temuan, mereka tidak berani melawan kepala daerah, terutama melaporkannya kepada penegak hukum,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Jaweng menyampaikan, tantangan saat ini adalah mengubah sikap dan pola pikir masyarakat dalam merespons korupsi ataupun kecurangan pada kampanye di pilkada. Hingga saat ini, masyarakat masih bersikap pragmatis, oportunis, dan mengidolakan tokoh atau calon kepala daerah petahana meskipun mereka mengetahui kepala daerah itu korupsi.
”Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan dari setiap kelompok masyarakat untuk terus menghadirkan fakta-fakta konkret korupsi yang dilakukan pejabat. Diharapkan nantinya tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat bahwa korupsi merugikan publik dan menggerus hak dasar masyarakat,” paparnya. (MDN)