JAKARTA, KOMPAS Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi, yang juga keponakan mantan Ketua DPR Setya Novanto, pernah menyebutkan adanya permintaan fee proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik oleh pihak-pihak yang disebutnya sebagai orang dari ”Senayan”.
Hal permintaan imbalan itu diungkapkan Jimmy Iskandar, salah satu mantan staf Direktur PT Java Trade Utama Johanes Richard Tanjaya alias Johanes Tan, saat bersaksi dalam sidang lanjutan dugaan korupsi KTP-el di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (26/2).
Menurut Jimmy, perkataan Irvanto itu disampaikan pada suatu sore tahun 2011. Jimmy alias Bobby mengaku disuruh oleh pengusaha Johanes Tan untuk menyiapkan dokumen teknis pendaftaran PT Murakabi Sejahtera sebagai peserta lelang dalam pengadaan proyek KTP-el.
Jimmy mengaku pernah mendengarkan celetukan Irvanto mengenai permintaan orang-orang dari Senayan terkait proyek itu.
”Abot, kono njaluk pitu (berat, orang-orang di sana meminta tujuh),” ungkap Jimmy menirukan perkataan Irvanto.
Jimmy berusaha memastikan maksud perkataan Irvanto itu dengan menanyakan lebih jauh, ”Kono sing endi (orang sana yang mana).” Atas pertanyaan itu, Irvanto menjawab, ”Senayan.”
Jimmy tidak lagi bertanya lebih lanjut tentang sebutan ”Senayan” itu. Ketika ditanyai oleh Hakim Anwar mengenai apakah Irvanto pernah menyebut nama Novanto, Jimmy mengatakan tidak pernah. Ia juga tidak berani memastikan bahwa yang dimaksud pitu oleh Irvanto ialah nominal tujuh persen dari nilai total proyek KTP-el Rp 5,8 triliun.
Merasa ditekan
Keterangan Jimmy itu didalami hakim dan jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Elza Syarief, saksi lainnya. Selain diduga menerima dari kelompok pengusaha terkait proyek KTP-el, anggota DPR juga diduga menerima dari Kementerian Dalam Negeri.
Elza menerangkan, rekannya di Partai Hanura, Miryam S Haryani, pernah mendatanginya setelah diperiksa penyidik KPK. Miryam membawa berita acara pemeriksaan (BAP) serta dalam kondisi gelisah karena tertekan dan merasa disudutkan oleh sejumlah anggota DPR yang seolah menghakiminya lantaran nama-nama mereka disebut di depan penyidik. Miryam antara lain menyebut nama Novanto, Faisal Akbar, Markus Nari, Chaeruman Harahap, dan Djamal Aziz.
Miryam mempertimbangkan untuk mencabut BAP dan berkonsultasi dengan Elza. ”Saya katakan kepadanya untuk tidak mencabut BAP,” ujarnya.
Miryam juga pernah menunjukkan amplop berisi kotak yang diterimanya dari Sugiharto, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan di Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, kepada Elza. Amplop itu bertuliskan ”Komisi II DPR.”
”Miryam awalnya mengaku tidak tahu isi amplop itu adalah uang. Lalu, bungkusan itu dibawa ke Ketua Komisi II DPR Chaeruman Harahap dan dia (Miryam) disuruh membagi-bagikan uang itu ke semua anggota Komisi II DPR. Kalau dijumlahkan memang kecil. Dari dua kali pemberian, setiap orang mendapatkan Rp 30 juta,” katanya.
Uang dari Sugiharto itu disebutkan sebagai uang reses anggota Komisi II DPR.
Terkait dengan dugaan aliran uang ke anggota DPR dan keterlibatan Novanto dalam kasus ini, Isnu Edhi Wijaya, pemimpin Konsorsium Percetakan Negara RI yang memenangi tender proyek KTP-el, mengelak mengetahui soal itu. Jaksa dan hakim meragukan keterangannya karena beberapa kali ditanyai mengenai hal-hal teknis pengambilan kebijakan, termasuk peran Andi Agustinus alias Andi Narogong, Isnu mengaku lupa atau tidak tahu. (REK)