Cara Suku Marind Menjaga Harmoni
Sikap itu diperlihatkan seluruh anggota keluarga suku Marind yang tinggal di Kampung Wasur 1. Di kampung yang dikelilingi hutan yang masuk area Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua, tersebut, ada dua keluarga yang berasal dari Jawa, yakni Karjunan (69) dan Jayus (61).
Dua keluarga ini menjadi saksi transformasi hidup di Kampung Wasur 1. Kemampuan meramu, berburu, dan memetik hasil hutan yang dikuasai penduduk asli kini semakin lengkap dengan pengetahuan bertani.
”Keluarga Jawa itu memberi tahu bahwa hasil pertanian dapat dipakai makan, sekaligus ditabung untuk kebutuhan berikutnya. Ternyata bisa kami terapkan,” kata Kepala Kampung Wasur 1 Tobiaz Gebze, di rumahnya, akhir Januari lalu.
Saking dekatnya hubungan antara suku Marind di Kampung Wasur 1 dengan keluarga Karjunan dan Jayus, dua keluarga itu sampai diberikan rumah. ”Mereka kami beri rumah, kami angkat mereka sebagai keluarga sendiri, dan kami ingin belajar dari mereka,” kata Tobiaz.
Lantaran dianggap bagian dari warga setempat, Karjunan pun mendapat nama marga Gebze, yang berarti pisang. Sementara Jayus mendapat marga Kaize, yang berarti Kasuari.
”Dulu saya di sini dipanggil Mas. Sekarang sudah tidak ada, semua memanggil Opa. Habis sudah panggilan Mas. Orang memanggil nama saya dengan tambahan nama, Gebze. Posisi saya di sini sama dengan tetangga-tetangga saya di sini,” tutur Karjunan, yang ditemui di rumahnya.
Kini tidak terpikir oleh Karjunan untuk pulang ke Jawa Timur. Kakek dengan tiga cucu ini bahkan sudah tidak ingat di mana persisnya kampung halamannya. Dia hanya ingat Surabaya, tempat tinggal terakhirnya sebelum memutuskan Kampung Wasur 1 sebagai rumahnya saat ini dan nanti.
Karjunan merasa terhormat dengan pemberian marga itu. Ia dengan senang hati menularkan pengetahuan pertanian kepada warga Wasur karena ingin warga setempat dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Karjunan memberi contoh dengan caranya. Di sekitar rumahnya yang berdinding kayu, dikelilingi berbagai usaha produktif. Ia memanfaatkan halaman belakang untuk menanam pisang, pepaya, cabai, nangka, dan tanaman produktif lainnya. Sementara halaman samping dipakai untuk memelihara ikan dipagari tanaman hortikultura, seperti cabai. Karjunan juga membuka usaha kecil-kecilan berupa toko untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Orang keturunan Jawa juga ditemukan di Kampung Kuprik, yang letaknya dekat dengan Kampung Wasur 1. Di Kampung Kuprik, tinggal Marban Sarjono (63), generasi ketiga keturunan Jawa di Merauke. Kakeknya, yaitu Prawiro Dono, berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, yang datang ke Merauke sebelum tahun 1945.
Kini, Marban tidak bisa lagi berbahasa Jawa. Meskipun orang menyebutnya sebagai orang Jawa Merauke atau ”Jamer”, Marban lebih akrab dengan budaya Marind. Kampung Kuprik merupakan kampung yang didirikan Belanda saat Perang Dunia II. Semua orang yang datang pada generasi itu memilih tidak kembali ke Jawa.
Sejauh ini, kata Marban, tidak ada masalah dengan warga Marind, pemangku adat wilayah tersebut. ”Tidak ada persoalan dengan pembukaan kampung ini. Tidak ada yang menggugat,” kata Marban.
Saling memahami
Penerimaan warga Marind terhadap warga lain yang hidup di wilayah adatnya diakui Frederikus Wanim Mahuse, Ketua Lembaga Adat Suku Marind. Selama menghargai dan memahami adat budaya Marind, Frederikus yakin tidak akan ada persoalan sosial di sana.
Benyamin Kaize, tokoh pemuda Merauke, menambahkan, falsafah hidup orang Marind adalah ingin menjadi manusia sejati. Namun, mereka yang hidup di Merauke juga perlu memahami dan menghormati budaya setempat.
Saat ini, di seluruh Kabupaten Merauke terdapat 20 distrik (kecamatan), dengan 179 kampung. Sebanyak 104 kampung di antaranya didiami suku Marind.
Wilayah adat suku Marind membentang di sepanjang aliran Sungai Digul dari Kondo hingga ke selatan Digul. Kini, wilayah itu masuk Kabupaten Merauke, Mappi, dan Digul.
Saat ini indeks pembangunan manusia (IPM) di Merauke ada di 68,09, di atas rata-rata Provinsi Papua saat ini yang 58,05. Meski demikian, ada fenomena penting yang kami lihat di ruang publik. Mereka relatif belum banyak bekerja sebagai pegawai kantoran, yang lebih banyak diisi oleh orang luar daerah.
Vikjen Keuskupan Agung Merauke Pastor Miller Senduk mengakui kondisi ini. Dia mengingatkan pemerintah agar menjaga keseimbangan sosial di Merauke. Jangan sampai warga lokal makin terpinggirkan. Mereka juga berhak mendapat akses seimbang dalam sektor ekonomi dan birokrasi pemerintahan.
Lompatan budaya
Persinggungan orang Papua dengan pendatang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, seperti yang ditulis Kal Muller dalam bukunya berjudul Mengenal Papua (2008). Jejak migrasi ini dapat dilihat dari sebaran bahasa Austronesia. Menurut Muller, dari 750 bahasa di Papua dan Papua Niugini, 150 di antaranya masuk golongan bahasa Austronesia. Memasuki abad ke-20, migrasi ke Papua terjadi lewat jalur pemerintahan, perdagangan, dan politik. Budi Asyhari Afwan dalam bukunya Mutiara Terpendam Papua: Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Tanah Papua (2015), mengutip penelitian Stuart Upton dari Departemen Sejarah dan Filosofi University of New South Wales, Australia, pada 1995, Papua menjadi tujuan migrasi tertinggi di Indonesia.
Pada 2010, arus migrasi yang masuk Papua terus meningkat. Peningkatan arus migrasi ke Papua ini dianggap sebagai yang tertinggi di dunia, yaitu 5 persen per tahun.
Pada saat yang sama, gelombang modernisasi sulit dipahami oleh orang Papua. Dalam bukunya, Budi menilai orang Papua mengalami lompatan budaya sejalan dengan masuknya peralatan modern, seperti telepon genggam dan televisi.
Untuk menjaga keseimbangan sosial dan meningkatkan akses bagi masyarakat Papua, harus ada ”jembatan” yang mampu mentransformasikan orang Papua dalam laju modernisasi. Tentu saja, proses ini jangan sampai membuat mereka tercerabut dari akar budayanya.